04. A Little Dream

129 13 0
                                        

Maaf lama nggak up. Lagi sibuk ngurusin kakak yang sakit ampe nggak bisa jalan. Tapi sekarang lagi masa pemulihan, udah bisa jalan juga. Jadi rencananya mau fokus lanjutin cerita ini. Nanggung, kerangka udah kelar, tinggal ngumpulin mood buat nulis aja.

Thankyou

***
**
*

Setelah menangis lama hingga sesak napas dan membuat semua orang panik, terutama Sophie dan Daniel, akhirnya Ara kini bisa diajak bicara baik-baik selepas kondisinya kembali stabil.

Butuh waktu berjam-jam demi membuat si penerus Ximora itu mau mengeluarkan suara selain anggukan atau gelengan. Kepribadiannya berubah 180° dari sebelum jatuh dari rooftop sekolah. Bahkan di hari itu Sophie mendapat ungkapan sayang melebihi hari-hari biasa saat di meja makan. Siapa yang menyangka kalau itu merupakan salam perpisahan?

Hanya ada Ara dan Dokter Hari serta Dokter Friska dalam kamar rawat bernuansa putih tersebut. Sementara Sophie dan Daniel memerhatikan dari balik pintu kamar yang menyisahkan sedikit celah kaca ukuran persegi panjang.

Sesudah makan disuapi, kini tenaga Ara telah kembali sedikit demi sedikit, bukan hanya mengandalkan nutrisi dari cairan infus. Gadis yang sudah termenung lama memikirkan segala yang terjadi semenjak keberadaan Alexi terkuak hingga ia yang nekat ke Ibu Kota, semuanya, tak ada yang terlewat kecuali tiba-tiba dirinya terbangun dalam tubuh Alexi.

Perpindahan Jiwa.

Begitulah yang Ara simpulkan meski tidak masuk akal. Berkali-kali bangun dan masih terjebak dalam tubuh Alexi, Ara yakin jika ini bukan mimpi.

"Kamu ingat siapa nama kamu?" tanya Dokter Friska.

Ara menggeleng. "Mereka terus memanggilku Alexi padahal aku merasa bukan. Seingatku, Mama Papa selalu memanggilku Alexandra atau Ara. Aku bingung." jawabnya berlagak ketakutan.

"Tidak apa-apa, Nona. Jangan terlalu dipikirkan. Itu normal karena Nona baru saja mengalami kecelakaan," kata Dokter Hari menenangkan.

"Selain itu apakah ada yang Nona ingat?"

Ada hening lama.

"Aku tidak yakin," jawabnya ragu-ragu.

"Tidak apa-apa. Anda bisa menceritakan apa yang anda rasakan. Dengan begitu kami baru dapat membantu Nona."

Menatap dua Dokter itu bergantian, Ara menjawab dengan penuh penghayatan. "Sepertinya aku bertemu seseorang yang sangat penting, tapi aku tidak ingat siapa. Rasanya seperti aku melupakan sesuatu yang sangat penting. Aku takut,"

"Tidak apa-apa. Sekarang kita beralih ke pasangan di luar sana. Anda ingat siapa mereka?"

"Mama, Papa? Aku tidak begitu yakin."

"Selain itu apakah ada yang Nona ingat lagi?"

Ara menggeleng.

Dokter Friska mengangguk. Menurunkan papan catatan selesai mencatat poin-poin penting sebagai bekal laporan.

"Bisa aku pulang sekarang?" celetuk Ara tanpa pikir panjang.

Ara sudah merencanakan semuanya. Mulai dari pura-pura hilang ingatan hingga melarikan diri dari orang-orang ini. Setelah tahu di mana makam adiknya, Ara berjanji akan menghilang dari kehidupan mereka semua.

"Tentu, tapi setelah kondisi Nona benar-benar sehat," Dokter Hari yang menjawab, "kami perlu melakukan beberapa tes dan pemeriksaan terkait jantung baru Nona selepas transplantasi beberapa bulan lalu,"

"Transplantasi jantung?" Reflek Ara menyentuh dadanya di mana terasa detakan amat familiar.

"Benar. Dan kalau boleh saya katakan, sekarang sudah akhir bulan Oktober. Anda koma selama kurang lebih 3 bulan dalam keadaan kritis saat pertama kali dibawa kemari. Anda ingat apa yang terjadi sebelum anda tak sadarkan diri?"

Lagi, Ara menggeleng. Menampilkan ekspresi penasaran sekaligus ketakutan selagi bertanya, "Apa yang terjadi denganku? Apakah aku melukai orang lain?"

Lantas Dokter Hari langsung membantah, "Bukan, Nona. Anda tidak perlu khawatir. Tidak ada yang terluka. Anda dibawa kemari karena serangan jantung dadakan, jadi anda tidak mencelakai siapapun." jelasnya.

"Sungguh?"

"Tentu. Nona bisa bertanya langsung kepada orangtua anda. Mereka yang membawa Nona ke sini tepat waktu." Dokter Hari tersenyum kecil selagi mengangguk guna memperkuat sandiwaranya.

"Kalau begitu, bisakah aku bertemu dengan keluarga si pendonor? Aku ingin berterimakasih langsung pada mereka." Sejak tadi Ara mati-matian menyembunyikan getaran suara juga menjaga ketat wajahnya agar tidak berubah. Beruntung, binar lugu nan wajah polos Alexi sangat mendukung peran. Ia dapat menebak siapa pendonor itu, sudah jelas. Artinya, tidak ada harapan untuk bertemu dengan adiknya. Atau kembali ke tubuh aslinya?

Ara tidak tahu. Ia bingung sekaligus ketakutan.

Kedua Dokter itu melempar lirikan satu sama lain kemudian mengangguk. "Pasti bisa, tapi setelah kondisi Nona sehat seratus persen. Untuk itu, Nona harus makan teratur dan minum obat. Jangan terlalu banyak berpikir dulu karena itu akan memengaruhi kerja jantung anda selama masa pemulihan. Besok kita juga akan mulai terapi berjalan untuk melatih otot kaki anda yang sudah lama tidak digerakkan." Dokter Hari menjelaskan.

Ara mengangguk paham. Gadis itu meringkuk di ranjang selagi meminta dipanggilkan sang Mama. "Aku mengantuk," sambungnya dengan nada lemah. Ara ingin menangis sekencang-kencangnya.

Selepas Dokter Hari mengiyakan sekaligus pamit undur diri, Ara yang sudah memejamkan mata kembali membuka netranya kala merasakan sapuan bibir di sisi kepalanya. "Mama," panggilnya pada Sophie yang barusan mengecup pelipisnya. Disusul belaian lembut pada surai panjangnya.

"Iya, Sayang. Mama di sini," sahutnya lembut.

"Mama," panggilnya lagi dengan suara parau dan mata berkaca-kaca. Berharap ia bisa meluapkan emosinya dalam dekapan sang Ibu. Sesuatu yang tak pernah ia rasakan sejak perselingkuhan Ayahnya terkuak.

"Kenapa, hm? Mama di sini. Mama nggak akan kemana-mana." tutur Sophie membelai lembut rambut panjang sang putri.

"Bolehkah aku memeluk Mama?" tanya Ara lirih. Karena Ara sadar, wanita yang ada di sisinya bukanlah Ibu nya.

Segera Sophie mengangguk cepat sambil menahan tangis. Sophie tak mampu mencegah setetes air matanya jatuh, ia terharu. Akhirnya kalimat yang ia tunggu sejak 3 bulan lalu keluar juga dari bibir pucat putrinya.

Sophie lalu naik ke ranjang kala Ara menggeser tubuhnya sedikit ke belakang. Gadis itu lalu merangsek maju, menyembunyikan wajahnya pada dada Sophie yang langsung mendekapnya erat. Memberinya kecupan bertubi-tubi. Pun tangan Ara melingkari pinggang Sophie selayaknya itu adalah satu-satunya pegangan yang ia miliki.

"Mama," suara Ara bergetar. Pun punggungnya.

"Mama di sini, Sayang. Jangan takut." balas Sophie.

Tapi Ara tidak berhenti. "Mama," Ia terus memanggil Sophie seakan dengan begitu beban hatinya mampu sedikit menguap.

Untuk kali ini saja, biarkan Ara sedikit egois dengan mengambil Sophie sebagai ibunya. Ara berjanji, setelah dirinya keluar dari rumah sakit, ia akan mengembalikan posisi Alexi ke tempat semula. Alexi pantas dikenang oleh keluarga dan orang terdekatnya. Sampai hari itu tiba, tolong biarkan Ara menggantikan posisi Alexi sementara, walau barang sehari saja.

I'm (Not) ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang