11.

95 8 0
                                        

Note; belum revisi

Sore hari, Ara sudah diperbolehkan pulang. Pergelangan tangan kirinya pun sudah terpasang smartwatch yang baru, tampak lebih mewah dengan taburan kristal di sekelilingnya membuat Ara gatal ingin menjualnya. Kebiasaannya dulu ketika memiliki barang mewah pemberian klien nya.

Kini Ara berada di ruang tamu, menonton drakor yang tengah hangat diperbincangkan seluruh dunia, Lovely Runner. Tidak sendiri, Ara ditemani Rachen yang sejak tiba di rumah selalu memperhatikan gerak geriknya. Ara sampai tidak berani banyak bergerak.

Sudah berulang kali Ara mengusir lelaki itu secara halus, tapi tidak berhasil sedikitpun. Seolah batu, Rachen justru memperhatikan Ara secara terang-terangan dengan dalih merindukan sang tunangan hingga berhasil membuat Sophie tersipu, sementara Ara justru merinding.

Daniel sendiri tidak banyak berkomentar, hanya meminta Rachen untuk menjaga sikap dengan nada serius seolah yang mereka bicarakan adalah strategi perang. Ara bahkan ragu jika yang mereka maksud adalah dirinya dan bukan perebutan wilayah. Ara menarik kesimpulan kalau mereka berdua tengah bersitegang akan sesuatu. Ara tidak yakin.

"Terimakasih, Bik," kata Ara kepada Pelayan yang mengantar segelas susu wajib miliknya.

Entahlah, Ara tidak tahu. Tapi begitulah kebiasaan Alexi. Dan Ara pikir tidak buruk mengikutinya, karena itu juga demi kebaikannya sendiri. Ara masih butuh waktu agar terbiasa dengan tubuh barunya yang mudah sekali lelah. Jadi harus benar-benar menjaga pola asupan juga disiplin waktu. Ara tidak mau menginap di rumah sakit lagi.

"Nona nggak mau lanjut nonton di kamar aja?" saran Bik Ira sebelum pergi, "ini udah jam 10, loh, Bibik cuma mengingatkan. Biasanya kan Nona langsung tidur setelah minum susu,"

Benar. Ara berpikir sejenak kemudian mengangguk. Meski sudah nyaman dengan posisinya sekarang, Ara dengan kekuatan tersisa menyeret kakinya menaiki puluhan anak tangga menuju kamarnya di lantai dua sesudah mengultimatum Rachen. "Kamu bisa pulang sekarang. Aku mau tidur!" katanya agak ketus yang menurut Rachen bertambah lucu lantaran tampak seperti anak kucing yang sedang merajuk.

Lalu Ara berbalik pergi sembari tangan kiri memeluk boneka Jerapah dan tangan kanan membawa album photo masa kecilnya. Sedangkan Bik Ira mengikuti dari belakang setelah berpamitan dengan calon menantu keluarga ini.

"Makasih, Bik," kata Ara lagi selepas Bik Ira menaruh minumannya, kemudian beranjak pergi untuk serta beristirahat.

"Selamat malam, Non."

"Selamat malam," dan akhirnya Ara pun sendirian. Sesuatu yang ia inginkan sejak tadi.

Bukan tanpa alasan Rachen masih di sini. Semua itu adalah permintaan Sophie kepada sang menantu agar tetap tinggal sampai keduanya pulang. Daniel dan Sophie memiliki janji penting yang seharusnya dilakukan sore tadi. Namun, dengan kondisi Ara yang baru pulang dari rumah sakit, mereka membatalkannya. Itu pun Ara yang memaksa mereka pergi.

Menyalakan televisi, Ara menyesap susu hangatnya pelan-pelan. Namun, baru beberapa tegukan Ara teringat dengan rencananya. Yakni untuk menangkap basah orang yang tidur bersamanya semalam. Ara sangat yakin kalau semalam seseorang naik ke tempat tidurnya. Alhasil, Ara pergi ke kamar mandi membawa susu dan membuangnya ke wastafel. Berjaga-jaga apabila orang itu datang lagi malam ini.

Ara mencurigai Arga, tapi bila dipikirkan kembali terasa mustahil mengingat ketidaksukaan Daniel terhadap keponakannya tersebut. Tanpa diberitahu pun, sudah pasti Arga dilarang kemari. Lantas pergi tidur tanpa mematikan televisi.

***

Keesokan paginya, Ara bangun dengan perasaan dongkol. Sia-sia usahanya pura-pura tidur hingga jam 2 pagi. Alhasil kini ia sangat mengantuk. Bahkan untuk makan pun, rasanya Ara tak sanggup. Sekarang yang Ara inginkan hanya memejamkan mata.

"Kamu nggak usah sekolah dulu, ya, Sayang? Lihat mata panda kamu itu. Istirahat aja di rumah, ya?" bujuk Sophie ke sekian kalinya. Namun, Ara kekeh dengan jawaban awalnya.

"Nggak papa, kok, Ma. Ara bosan di rumah. Kalau di sekolah kan ada banyak teman. Nanti kalau Ara nggak kuat, Ara bakal minta izin pulang,"

"Aunty nggak perlu cemas. Damien dan Keysha bakal jagain Alexi, kok. Nanti biar Lexi istirahat di UKS aja," timpal Damien.

Ara mengangguk.

Sophie menghela napas, mengalah. "Tapi kamu janji, ya, langsung istirahat kalau capek. Jangan lari-larian!" peringatnya sungguh-sungguh.

Ara nyengir. Merutuki kebodohannya kemarin. "Siap, Komandan!" Lalu mencium Sophie sebagai salam perpisahan.

"Dam, aku mau tidur sebentar, ya. Nanti kalau udah sampai bangunin," Ara berpesan.

Damien mengangguk. Tanpa berbicara, lelaki itu menurunkan sandaran kursi dan mengambil selimut di kursi belakang. Seakan semua barang itu tersedia memang untuk Alexi. Bkan seminggu atau sebulan, sudah bertahun-tahun Damien menjadi supir pribadi Nona muda Ximora tersebut. Bukan karena disuruh, tapi Damien sendiri yang mengajukan diri sejak bisa mengendarai mobil di umurnya yang ke 14.

Hari ini mereka berangkat hanya berdua karena Keysha membawa mobil sendiri. Gadis itu memiliki jadwal yang berbeda. Sedangkan untuk Damien, semenjak JHS memang lebih sering menyesuaikan jadwalnya dengan milik Alexi.

Tak berselang lama, mobil Damien memasuki pelataran Sevenith. Berbeda dengan kemarin, kali ini Damien memarkir mobilnya di parkiran khusus yang dekat dengan lobi. Biasanya parkiran itu dikhususkan untuk petinggi sekolah atau pemiliknya ketika datang. Hanya tersedia untuk 5 mobil dan 2 motor.

Berhubung Ara tak kunjung bangun, Damien memutuskan untuk menunggu lebih lama. Lelaki itu mengutak-atik ponsel buahnya selagi menunggu jam pertama.

Kring~

Terlalu fokus bermain game, Damien tak sadar hingga bel masuk berdering. Hal itu pula yang membuat Ara terbangun. Gadis itu menggeliat pelan sebelum kemudian membuka mata. "Udah sampai?" tanyanya serak.

"Em. Kamu minum dulu," kata Damien menyodorkan sebotol air yang sudah terbuka. Kemudian merapikan anak rambut Ara yang berantakan.

"Terimakasih,"

Dengan sigap Damien mengambil kembali botol minuman dan menutupnya. Meletakkannya di tempat semula.

"What?" tanya Damien yang sadar Ara menatapnya lama.

Ara menggeleng. "Jangan terlalu baik sama aku. Nanti Ara suka," sahutnya serius yang mana Damien anggap sebagai lelucon. Terbukti lelaki itu justru tertawa sambil mengusak kepala Ara meski dia juga yang merapikannya.

"Udah, jangan ngelantur. Ayo keluar. Aku antar ke kelas. Atau mau lanjut tidur di UKS?"

Setengah cemberut, Ara menggeleng. Memandang sengit Damien yang membukakan pintu sambil menahan senyum. "Nggak usah ditahan!" sungut Ara berlalu meninggalkan Damien.

Lantas pecah sudah tawa Damien. 15 tahun tumbuh bersama, baru kali ini Damien menemukan sisi kekanakan Alexi. Biasanya gadis itu cenderung tenang dan lurus-lurus saja baik jalan hidup maupun pikirannya. Kecuali kejadian terakhir kali. Bahkan membayangkannya saja Damien tidak pernah. Seketika tawa Damien sirna, matanya sendu memandang punggung kecil yang perlahan menjauh, merasa gagal menjaga adiknya.

Pak!

"Ngapain bengong di sini?"

Damien mendesis memegang belakang kepala, melirik sengit sang kakak yang tiba-tiba muncul dari belakangnya. Damien bahkan ragu apakah kakaknya itu berjalan atau melayang karena Damien benar-benar tidak mendengar langkah kaki atau tanda-tanda kedatangan seseorang.

"Abang sendiri ngapain di sini?" sewotnya.

Jayden mengedikkan bahu. "Disuruh ke sini sama yang punya," sahutnya acuh.

Damien geleng-geleng kepala. Sudah hapal kelakuan absurd kakaknya yang seolah hidupnya diabdikan kepada sahabatnya yaitu Rachen.

"Terserah Abang lah. Aku masuk kelas dulu," Damien pun berlalu. Meninggalkan Jayden yang marah-marah kepada seseorang di seberang sana.

"Sial, Chen! Lo di mana!?" umpatnya sambil mengetik pesan.

"Otw otw! Dari tadi otw mulu. Gue udah di sini sejam lebih, Nyet!" semprotnya.

I'm (Not) ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang