12. Out of Control

23 5 0
                                        

Btw, ramein komen, dong. Tanya apa aja. Biar isi kepalaku jalan, gak stuck di goa.

Oh, dan aku lama lanjut ini karena yang disebelah itu beda konsep. Awalnya mau dibenerin, mau dilurusin, tapi ujung-ujungnya berhenti karena bingung pilih alur yang mana. Alhasil, hilang lah mood.

Jadi, ini niatnya mau kelarin di sini dulu, ikut alur sini. Urusan nanti, ya nanti. Yang disebelah, biar terbengkalai dulu, tunggu ini selesai.

Happy Reading!

Satu jam pertama Ara masih bertahan. Tapi satu jam berikutnya Ara mati-matian membuka mata hingga berakhir dengan izin ke UKS. Beruntung Daniel membayar mahal hingga Ara merasa nyaman untuk bersikap sedikit berlebihan. Serasa sekolah ini adalah miliknya walaupun sebenarnya, Ara juga tidak yakin.

Dilihat dari sikap semua guru dan staf yang sangat menjaganya, tidak berlebihan bukan bila Ara merasa sebagai anak dari pemiliknya?

Ditambah, sejak hari pertama Ara selalu menggunakan lift yang mana tidak diberlakukan untuk para murid.

Tak berselang lama, Ara pun bangun. Masih seorang diri di ruangan serba putih tersebut. Hembusan angin terasa menyentuh kulitnya. Berasal dari jendela sebelah yang memang sudah terbuka sedari Ara masuk. Tirainya bergoyang pelan seakan melambai Ara untuk mendekat. Menghiraukan terik Matahari yang kian menyengat.

Melihat jam, baru pukul 11.11 siang. Masih ada waktu sebelum istirahat makan siang. Ara pikir hari sudah gelap karena merasa telah tidur sangat lama. Ternyata tidak lebih dari 60 menit namun, berkualitas.

Meregangkan badan sebentar, Ara beringsut turun, melangkah mendekati jendela, penasaran dengan pemandangan yang terlihat dari sana.

Seketika Ara diterpa angin segar begitu jendelanya ia geser lebih lebar. Senyum hangatnya terlukis kala damai Ara rasakan sambil menengadah, membiarkan cahaya mentari menyorot wajah cantiknya.

Hanya sesaat.

Karena begitu matanya terbuka, Ara dapat melihat dengan jelas pijakan terakhir adiknya. Seketika sensasi dingin menjalar dari telapak kaki hingga ubun-ubun. Tangannya menggenggam erat tepi jendela sementara kakinya gemetar.

Ara menahan napas untuk waktu yang lama. Berharap cara itu dapat menenangkan diri. Namun, percuma.

Dengan tubuh gemetar, Ara sekuat tenaga menggerakkan tungkai kakinya keluar. Mengikuti sosok yang serupa dengannya. Ara mencoba memanggilnya, tapi tidak ada suara yang keluar. Setengah dirinya berteriak bahwa itu hanya halusinasi, tapi Ara tidak bisa menahan diri akan harapan adiknya masih hidup.

Dengan pandangan berkunang-kunang, Ara menaiki tangga menuju atap sekolah sambil tangannya mencoba meraih kembarannya. Meninggalkan smartwatch-nya di UKS karena sadar benda itu dapat mengirim sinyal ke seseorang. Ara tidak ingin ada yang menganggu di pertemuan pertama mereka.

Setelah usaha yang sangat besar Ara akhirnya berhasil mencapai pintu atap. Dadanya kian berdebar kencang hingga terasa sesak, tapi Ara bersikeras menolak jatuh.

Berhenti sejenak karena lelah, Ara mengambil napas panjang berkali-kali selagi mencoba berkomunikasi dengan adiknya.

"Alexi, jangan!" Tapi tidak peduli seberapa keras ia berteriak, itu hanya terjadi di kepalanya sendiri. 

Saat sadar, Ara nyaris saja jatuh ke bawah. Beruntung keseimbangannya cukup baik sehingga ia dapat berpijak dengan benar walau tubuhnya gemetar. Ketakutannya bertambah kala kepalanya menunduk ke bawah. Lengah sedikit Ara yakin kali ini nyawanya pasti melayang. Tidak ada kesempatan ketiga.

I'm (Not) ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang