Selang dua hari kemudian, Ara memaksa berjalan di bawah sinar matahari langsung, di taman rumah sakit yang kerap ia intip dari jendela ketika Daniel dan Sophie tidur.
Diam-diam Ara kerap turun dari ranjang ketika kantuk tak kunjung datang sekaligus melatih kekuatan kaki. Ara bertekad keluar dari rumah sakit maksimal minggu depan. Ara lelah berpura-pura menjadi gadis baik nan penurut seperti Alexi. Ia juga benci obat-obatan serta muak dengan rumah sakit yang hanya meninggalkan kesan menyakitkan baginya.
"Matahari semakin terik. Kita kembali ke dalam, oke?" pinta Daniel yang sudah siap mendorong kursi roda Ara.
Tanpa penolakan, Ara diam saja ketika kursi rodanya diputar dan berjalan ke kamar. Menaiki lift ke lantai 4 di mana hanya terdapat Ara sebagai pasien. Daniel sengaja meminta dikosongkan satu lantai demi ketenangan putri tercinta. Pula demi kenyamanan Sophie.
Meski telah lama hengkang dari dunia permodelan, bukan berarti pesona Sophie pudar. Tak sedikit orang yang mau berfoto dengan wanita itu ketika mereka menghadiri sebuah acara atau sekedar jalan-jalan di taman. Pun rasa keingintahuan masyarakat luar akan kehidupan mantan model Internasional tersebut hingga kerap dikuntit oleh para pemburu berita secara diam-diam. Oleh karena itu, Daniel meminimalisir kehidupan rumah tangganya terutama dari konsumsi publik. Beruntung hingga detik ini wajah sang putri belum tersebar luas. Selalu ada harga yang harus Daniel keluarkan untuk setiap foto Alexi yang berhasil wartawan dapatkan. Kalaupun ada, para pemburu berita harus pasrah bila wajah cantik keturunan Ximora itu wajib di-blur agar berita mereka bisa ditayangkan.
Tiba di kamar yang pintunya sedikit terbuka, Ara disambut oleh Sophie bersama seorang gadis yang menjadi satu dari dua sahabat dekat Alexi. Gadis berambut hitam gelap sepunggung itu tersenyum cerah ke arahnya sambil membawa sekeranjang bunga daisy bercampur bunga-bunga lain.
"Lihat, siapa yang datang menjenguk, Sayang!" sambut Sophie antusias seraya memperlihatkan gadis di sebelahnya. Senyumnya terbuka lebar.
"Senang melihatmu sudah bangun, Alexi," sapa gadis itu. "Ini untukmu. Semoga cepat sembuh," tuturnya seraya menyerahkan bunga bawaannya yang lekas diterima Sophie dengan hati berbunga.
Ara bergeming. Memperhatikan interaksi gadis bernama Keysha--begitulah Sophie memanggilnya, bersama ibu angkat Alexi seolah mereka putri dan anak.
"Terimakasih sudah datang, Keysha. Kamu sendirian?" imbuh Daniel bertanya.
"Enggak, kok, Om. Aku sama Damien. Aku tinggalin pas dia lagi markir mobil," jawab Keysha menyengir. "Nah, tuh, orangnya. Panjang umur," sambungnya kala seorang cowok berkulit tan muncul.
"Siang, Om, Tante," sapa cowok berkemeja kotak-kotak tersebut. "Hai, Lex. Gimana kabarmu?" tanyanya kepada Ara yang belum juga mengeluarkan suara. Tampak kebingungan.
Sophie yang mengerti hal tersebut segera memperkenalkan Keysha sebagai sahabat terdekatnya, sekaligus Damien, karena mereka tinggal di lingkungan yang sama.
Ara mengangguk mengerti. "Maaf karena aku tidak mengingat kalian," ujarnya formal. Hal itu sudah seperti kebiasaan. Ara selalu bicara formal terhadap orang asing berkat lingkungannya sebagai Sandra, si gadis penghibur.
Berinteraksi dengan bukan sembarang orang, Ara dituntut untuk menjaga sikap serta ucapan. Bermasalah dengan mereka sama dengan mengakhiri hidup. Mau tak mau Ara harus berkompromi dengan keadaan serta situasi selama menjalin hubungan satu malam bersama para pria haus belaian.
Keysha menggeleng. "Nggak masalah, Lexi. Bagaimanapun, yang penting kamu selamat. Seiring berjalannya waktu aku yakin ingatanmu bakal kembali. Iya, kan, Dam?"
Damien mengangguk setuju. "Dan kami akan membantumu mengingat segalanya. Kamu tenang saja."
Ara hanya tersenyum mengangguk. Tidak banyak yang bisa ia katakan, karena sejatinya ia bukan Alexi. Ara tidak tahu bagaimana harus bereaksi ketika Keysha menceritakan masa kecil mereka yang sering kali berebut mainan. Atau saat Damien mengungkit jika Alexi dan Keysha pernah menyukai cowok yang sama di bangku JHS.
Belum selesai Keysha dan Damien bercerita, muncul lagi Paman dan Bibi Alexi --dari pihak Sophie-- berikut dua sepupunya yang masih kecil. Ara sampai sakit kepala karena mereka terus meminta atensinya. Beruntung, Daniel segera mengusir mereka ketika datang waktunya meminum obat.
Ara pikir ia bisa beristirahat panjang. Tapi saat malam tiba, datang lagi Kakek dan Neneknya dari pihak Mama. Sepasang kekasih berusia senja itu tidak banyak bicara. Mereka hanya datang mengucapkan selamat lalu pergi begitu saja setelah berbasa-basi sebentar. Sophie sebagai anak juga tampak tidak perduli terhadap orangtuanya. Atmosfer saat itu malah berubah dingin. Andaikan tidak ada Daniel yang menyambut mereka dengan ramah, Ara pikir mereka pastilah salah kamar.
"Mama lagi bertengkar sama Kakek dan Nenek, ya?" tanya Ara penasaran.
Sejak siang tadi otak Ara tak henti bekerja. Sibuk mengamati interaksi satu sama lain sehingga Ara tahu mana yang bisa dijadikan kawan maupun lawan. Sehingga Ara bisa mengambil langkah selanjutnya.
Ara sudah belajar dari kehidupannya yang pahit. Di dunia ini tidak ada yang namanya pertemanan sejati. Selalu ada take and give. Dan yang paling banyak, musuh sejatimu adalah sahabat dekatmu sendiri.
Bukan maksud Ara berprasangka buruk. Tapi semenjak melihat Keysha, feeling Ara sudah tidak suka. Gadis bermuka dua, begitulah kira-kira Ara mendefinisikan gadis itu. Akan tetapi, Ara juga tidak bisa mengandalkan firasat saja. Ia akan mencari bukti. Sampai hari itu tiba, Ara akan bersikap hati-hati dengan Keysha.
"Atau mereka nggak suka sama Ara, ya?" tanyanya lagi karena tak kunjung mendapat jawaban. Hanya ada mereka berdua. Daniel izin mengantar mertuanya keluar. Yang mana Ara bertaruh, Daniel sedang memberi mertuanya peringatan. Ara yakin sekali mengingat betapa Daniel amat sangat memuja sang istri.
Segera Sophie meletakkan pisau dan Apel yang baru terkupas setengah lalu bangkit mendekati Ara. "Tentu aja enggak, Sayang. Mereka sangat menyayangi kamu. Buktinya, mereka langsung ke sini begitu Mama kabari kamu sudah bisa dijenguk. Kamu adalah kesayangan semua orang, paham!?" tekannya selagi mengecup kening Ara.
Ara mengangguk polos. Namun, urung bicara lantaran menunggu penjelasan Mamanya.
Sophie yang mengerti pun berkata, "Ini masalah orang dewasa, kamu masih kecil. Intinya, Mama sama Kakek dan Nenek kamu emang udah perang dingin dari lama bahkan sebelum kamu ada. Kamu mengerti maksud Mama, kan!?"
Sekali lagi Ara mengangguk patuh, tak mau menambahi beban Mama Alexi tersebut. Lantas mengubah topik pembicaraan. "Kapan Ara bisa keluar, Ma? Ara udah ngerasa sehat, kok,"
"Nanti, ya. Setelah hasil pemeriksaan kamu keluar dan Dokter bilang kamu sudah cukup sehat. Sekarang makan buah ini, lalu istirahat."
Ara ingin membantah, tapi menahan diri. Mensugesti dirinya sendiri bahwa ia adalah Alexi, seorang gadis penurut dan baik hati. Ara bahkan sangsi adiknya itu tahu cara mengumpat. Karena dari yang Ara amati selama dua minggu itu, hanya ada lengkungan senyum di wajah cantik Alexi.
Ara rasa, pura-pura bahagia jauh lebih baik ketimbang harus pura-pura baik sepanjang hari. Sungguh melelahkan sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (Not) Protagonist
Novela Juvenil"Tidak semua iblis itu jahat. Begitu pula malaikat, belum tentu semuanya adalah penyelamat." ***** Alexandra Rania. Niat hati ingin bertemu dengan sang kembaran yang baru diketahui, justru berakhir tragis. Ara--sapaan akrabnya, memang berhasil bert...