13. The Goal

27 5 1
                                        

"Alexi!"

"Tidak!"

"Jangan!"

"Alexi, ku mohon!"

Ara terus berteriak dalam tidurnya.

Ini bukan yang pertama kali.

Semenjak di bawa ke rumah sakit 3 hari lalu, gadis itu senantiasa tidur. Masih beruntung karena Alexi berhasil melewati masa kritisnya sehingga sekarang dinyatakan koma. Grafik otaknya menunjukkan pergerakan. Akan tetapi, pemilik mata biru itu tak kunjung membuka mata seolah jiwanya terjebak di dimensi lain.

"Ara, bangun!"

Maka hal ini pun berlaku untuk Rachen yang setiap malam berjaga, bergantian dengan Daniel yang juga harus mengurus Sophie lantaran ikut jatuh sakit akibat stress dan kelelahan. Meski kamar mereka bersebelahan, Daniel melarang keras sang istri mendekati putri mereka sampai Sophie benar-benar sehat.

"Babe, please, wake up!" lirih Rachen putus asa. Memeluk erat-erat tubuh Ara yang kejang-kejang setiap kali hal ini terjadi.

"Alexi!" Ara terbangun. Napasnya tersendat-sendat. Wajahnya basah oleh air mata beserta keringat. Sedangkan netra serta indera pembaunya merasakan keakraban akan tempatnya sekarang. Bukan lagi padang bunga ataupun kolam darah.

Masih dengan tangan terjulur, Ara tak berdaya ketika tubuhnya dipeluk Rachen, erat sekali.

"Thanks, god! Akhirnya kamu sadar juga," ucap Rachen penuh syukur sambil mengecup pucuk kepala Ara berulang kali. Dadanya masih berdebar kencang lantaran terkejut sekaligus lega. Seolah beton yang menghimpit dadanya sirna.

"Rachen," sebut Ara tanpa maksud. Ara hanya ingin membuktikan kalau ini bukan mimpi.

"Yes, Princess?" sahut Rachen cepat. Menarik wajah Ara hingga wajah mereka berhadapan.

"Kenapa, hm?" tanya Rachen lantaran Ara hanya diam. "Ada yang sakit? Di mana?"

Ara menggeleng. Lantas menyandarkan sisi kepalanya ke dada Rachen selagi bergumam, "She loved you,"

Yang tak Ara duga, Rachen mendengarnya dan menjawab, "I love her too," Memaksa Ara mendongak hanya untuk menemukan kesungguhan di mata lelaki itu.

Ara ingat ia mengaku di pertemuan terakhir mereka karena mengira kala itu dirinya sungguh akan meninggal. Namun, Ara tidak menyangka Rachen akan mempercayainya semudah ini.

Ara beringsut mundur. "Kamu percaya?" tanyanya waspada, berjaga apabila Rachen melakukan seuatu kepadanya.

"Enggak,"

Ara memicingkan mata semakin waspada. Ara takut dengan keberanian Rachen di saat dirinya lemah. Plus, mimik wajah lelaki itu yang tak mudah dibaca.

Rachen menatap lekat manik biru tunangannya selagi Ara berusaha menghindar. Tinggal sedikit lagi sampai punggungnya menyentuh ranjang. "tapi cara kalian menatap terlalu berbeda. Seakan kalian bukan orang yang sama,"

Ara menahan napas. Mereka terlalu dekat dan Ara tidak bisa lagi menghindar.

Mereka bertahan dalam posisi itu lumayan lama hingga kemudian Rachen bangun setelah menekan tombol darurat di sisi kanan ranjang Ara.

"dan karena kamu sudah memulai permainan ini maka, selesaikan hingga akhir."

Tepat setelahnya, Dokter Hari dan tim nya muncul. Seolah alam juga berpihak kepada Rachen. Tidak membiarkan Ara mencerna apa maksud dari ucapan lelaki tersebut.

"Thanks god!" seru Sophie menangis bahagia. Langsung berdiri untuk memeluk putrinya. "Terimakasih kamu sudah kembali, Sayang!"

Ara tidak merespon. Netranya jatuh pada Rachen yang senantiasa menatapnya seolah dirinya akan menghilang jika lelaki itu berkedip.

I'm (Not) ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang