10. Is He My Curse?

89 9 0
                                        

Hell-Ooo...
Met malem... Met ketemu lagi bareng Ara di Senin malem ini.

Gimana kabar kalian semua?
Aku harap kalian gak lupa buat bahagia walau hidup lagi capek-capeknya.
Kalau lelah istirahat aja, dulu, jangan dipaksa. Kalian gak harus memenuhi standart orang lain buat bahagia. Mereka adalah mereka, dan kamu adalah kamu.

Btw, gimana tanggapan kalian tentang Ara sejauh ini? Kalau ada something yang off, bilang, ya, biar aku tambal—kalo bisa.

Happy Reading!
Semoga suka.

*
***
*****
***
*

Saat bangun, Ara menemukan dirinya di ranjang pesakitan dan jarum infus di tangan kirinya. Ara mendesah, antara lelah dan lelah.

Lelah yang pertama untuk masuk rumah sakit lagi, sedang lelah kedua untuk kebodohannya berlari. Jika di pikirkan sekarang, Ara tidak seharusnya lari dari Rachen karena dalam kehidupan nyata mereka tidak saling mengenal. Saat bekerja pun Ara memakai topeng, jadi sudah pasti Rachen tidak pernah melihat wajah aslinya.

Terlebih, malam itu Rachen terlelap lebih dulu sehingga Ara berhasil mencuri semua uang tunai di dompetnya. Dan kalaupun Rachen mempermasalahkannya, sudah dipastikan Ara akan langsung tertangkap dengan kekuasaan yang lelaki itu miliki.

Namun, tidak ada yang terjadi, bahkan hingga hari ini, benar!?

Toh, dibanding mobil dan pakaiannya, uang 2 juta pasti tidak lebih dari recehan bagi lelaki kaya sepertinya.

Benar.

Sekali lagi Ara mendesah. Kali ini karena lega telah menetralisir pikiran negatifnya. Tidak sia-sia dirinya selalu mendapat juara 1 setiap kenaikan kelas kala sekolah dasar dulu.

"Sudah ketiga kalinya kamu mendesah kurang dari semenit. Memang apa yang kamu pikirkan?" celetuk Rachen yang sejak awal duduk di sofa panjang dekat jendela. Hanya ada mereka berdua di sana.

Ara yang terkejut hanya bisa memegang dada sekaligus menenangkan diri. Atensinya teralihkan sejenak pada mesin Elektrokardiograf yang menunjukkan grafik lonjakan.

Menarik napas dan menghembuskannya pelan-pelan. Ara melakukannya beberapa kali sampai grafik di layar EKG kembali bergerak stabil, baru kemudian menatap Rachen yang berjalan mendekat.

Diam-diam Ara menenangkan hati sekaligus pikirannya. Ia belum boleh ketahuan atau semua usahanya menjadi Alexi selama hampir sebulan ini akan sia-sia. Awas saja kalau kesabarannya hingga hari ini tidak membuahkan apa-apa.

"Kamu siapa?" adalah kalimat pertama yang Ara keluarkan dari bibir merah mudanya. Matanya lurus menatap manik gelap Rachen yang ketika terpapar cahaya bersinar hijau keemasan.

Sangat indah.

Membuat kesadaran Ara menipis kala tertawan oleh sepasang mata yang pernah memerangkapnya sekali tersebut.

"Terpesona, Princess!?"

Ara melotot. Bukan hanya karena pertanyaan Rachen, tapi juga karena wajah lelaki itu terlalu dekat. Sangat dekat.

Lantas Ara cepat-cepat mendorong Rachen walau hanya sampai menyentuh dada lelaki tersebut. Rachen terlalu kuat.

Dan sebut Ara gila sebab, bukannya merasa terintimidasi, Ara malah terbang ke kejadian 3 bulan lalu di mana Rachen bersama teman-temannya menerima pelayanan dari anak didik Madam Berlin. Ara salah satunya dan termasuk jajaran anak kesayangan.

I'm (Not) ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang