05. Be Alexandra Ximora

23 6 0
                                    

Sesuai anjuran Dokter, lusa harinya Ara mulai melakukan terapi berjalan. Tidak perlu keluar ruangan. Kamar yang Ara tempati lebih dari cukup untuk membuat kakinya lelah.

Di bawah pengamatan Dokter Hari, serta penjagaan ketat Daniel, Ara melangkah pelan-pelan. Satu, dua, tiga, dan seterusnya. Hingga dipercobaan ke-lima setelah dua kali istirahat, kaki Ara tak lagi sanggup berjalan. Lekas, Daniel yang bersikeras menggantikan tugas perawat selama sesi terapi sigap menangkap tubuh putrinya.

"Kamu baik-baik aja, Sweetheart?" tanya Daniel cemas.

Sementara Sophie yang sedari awal memantau dari ujung ranjang langsung mendekat. "Udahan, ya, Sayang. Sekarang kamu istirahat aja," pintanya khawatir. Takut bila sang putri terus memaksakan diri, bukannya cepat sembuh, justru akan kehilangan fungsi kaki karena keseleo.

Tanpa menunggu jawaban, Daniel lekas menggendong putrinya kembali ke ranjang diikuti Sophie yang langsung memberi minum.

Ara tak protes. Ia mengambil gelas kaca dari tangan Sophie dan meneguknya hingga habis. Rasanya Ara tak punya tenaga walau hanya untuk mengucapkan terimakasih.

"Terimakasih, Ma, Pa, dan maaf sudah merepotkan kalian," kata Ara selepas menarik napas panjang beberapa kali. Tak lupa senyum tipis demi menyenangkan hati pasangan suami-istri tersebut.

"Berhenti berterimakasih dan minta maaf, Ara. Kamu selalu mengatakannya seolah kami bukan orangtua kamu," desah Sophie jujur. Ia merasa tidak nyaman tiap kali putrinya berterimakasih terhadap bantuan sekecil apapun serta menyelipkan kata maaf setiap menitnya. Seolah mereka orang asing.

Pun, Sophie dan Daniel sepakat memanggil putri mereka dengan nama kecilnya selepas mendengar penjelasan Dokter Friska semalam. Mereka bertekad membentuk kenangan baru bersama putri kecil mereka dengan penuh suka cita. Menganggap amnesia Alexi sebagai kesempatan kedua.

"Maaf," sesal Ara.

"Oke, enough!" lerai Daniel begitu melihat Sophie akan membantah lagi. Dibelainya rambut sang putri hingga Ara menoleh ke arahnya. "Tidak ada kata terimakasih dan maaf dalam sebuah keluarga, Sweetheart. Kamu paham maksud Papa, 'kan!?"

Ara mengangguk. "Good girl!"

"Aku sayang Papa," Ara berujar tulus.

"That's my daughter!" pungkas Daniel sembari membubuhkan satu kecupan di kening Ara.

Kemudian Ara menoleh pada Sophie dan mengatakan hal yang sama. "Aku juga sayang Mama."

"Mama juah lebih sayang kamu. Kamu adalah segalanya bagi Mama."

Sementara dari samping, Dokter Hari hanya diam menyaksikan, takut merusak suasana hangat keluarga kecil tersebut. Untuk itulah, diam-diam Dokter Hari mengkode tim-nya untuk keluar. Membiarkan keluarga Ximora melepas kerinduan selepas 3 bulan penuh dengan ketegangan.

Ara sendiri merasa terharu. Tanpa sadar air matanya telah luruh bersamaan kecupan di kening, lalu mata dan pipi dari Sophie. Berikut kalimat-kalimat pemujaan.

Satu hal yang belum pernah ia dapatkan sejak lahir.

Tumbuh dalam keluarga dengan ekonomi menengah ke atas, Ara pikir hidupnya akan mudah. Meski tidak dihujani kasih sayang melimpah, tapi Ara merasa cukup selama tidak ada pertengkaran. Tampak dari luar, hubungan Ayah dan Ibunya baik-baik saja. Ara bahkan hampir tak pernah menemukan mereka cek-cok selama hampir 14 tahun. Atau mungkin mereka yang terlalu pintar menyembunyikan masalah. Lalu tiba-tiba semuanya berubah dalam satu malam ketika Ayahnya pulang dari luar kota.

Ayah Ara--ketahuan--selingkuh. Begitulah yang Ibunya katakan.

Kemudian Ibunya juga ikut berselingkuh. Sejak itu, rumah yang Ara gadang-gadang sebagai surga berubah bagaikan neraka. Teriakan menjadi alarm pagi Ara, sedangkan ketika malam, pecahan barang merupakan waktu mengurung diri dalam kamar.

I'm (Not) ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang