Halo! this is cegil! 💋
- Selamat reading! ✨-
Nala mengetuk ngetukkan kakinya menunggu martabaknya dibuat. Ia merapatkan cardigan berwarna ungu yang ia pakai, menghalau dinginnya malam.
Ia mendongak menatap langit. Hampa. Tidak ada bintang disana, bulan juga tidak terlihat wujudnya.
Tadi ia dimarahi oleh ayahnya, itulah sebabnya ia bisa berada ditempat yang ramai pedagang ini. Ayah Nala yang memang sangat ketat dan konsisten tadi sempat melihat nilai Nala, yang menurutnya tidak berkembang.
Nala diceramahi, tentang betapa pentingnya ilmu itu. Tentang bagaimana ilmu bisa mempengaruhi masa depan. Tentang skill yang sangat dibutuhkan dalam dunia kerja.
Nala juga tau kalau ilmu itu penting! Tapi apa perlu membandingkannya dengan kakak kakaknya? Semua petuah yang sudah Nala resapi, langsung ia muntahkan saat Ayah mulai membanggakan kakaknya.
Ya, memang sih. Keduanya kakaknya adalah orang yang berprestasi. Nilam, kakak pertama Nala itu sebentar lagi jadi dokter. Sementara, Gibran, kakak yang Nala beri julukan 'si paling sibuk' itu ketua BEM.
Nala sebagai anak bungsu yang selalu dibanding bandingkan oleh ayahnya pun, tidak jarang dengan mandiri ia bandingkan sendiri dirinya dengan kakaknya. Tidak perlu bantuan ayah. Nala menyadari dengan sendirinya, seberapa jauh gap mereka. Tidak perlu diperjelas.
Nala menghela napas pelan. Nasib lahir dikeluarga yang isinya orang cerdas semua, ya begini. Mamanya itu mantan bidan, ayahnya dokter, Kak Nilam tidak lama lagi jadi dokter. Kalau Kak Gibran, ah dia memang lain.
Ketika sebagian besar anggota keluarga bermitra dibidang medis, ia malah memilih jurusan managemen. Untungnya tidak ditentang oleh Ayah.
Nala sendiri jelas tidak akan menjadi dokter. Dia kan anak IPS. Nala belum tau mau menjadi apa. Belum menemukan juga bakatnya apa. Suatu saat nanti pasti papa akan menanyakan bakatnya. Sama seperti Kak Nilam dan Kak Gibran.
"Makasih, ya, Kak." Nala menerima bungkusan martabaknya setelah membayar.
Nala belum mau pulang. Martabaknya akan ia habiskan sendiri saja disini. Sambil mencari stand minuman, ia melihat lihat orang pacaran disini. Ada yang menyuapkan pacarnya, ada yang duduk berdua sambil menatap langit, bahkan ada yang baru datang, Nala melihat si laki laki melepas helm pasangannya tak lupa pula merapikan rambut si perempuan. Manisnya.
"Gue juga mauuu."
Kira kira, Rai lagi apa, ya?
Duh, kenapa Nala jadi ingat Rai? Tentang kerja kelompoknya dengan Rai, Nala masih merasakan euforia yang sama saat mengingatnya.
Satu sekolah, satu kelas, bangkunya sampingan, ternyata satu kelompok juga. Nala tersenyum mengingat itu.
Nala masih berjalan tidak tentu arah. Ia hanya ingin memakan martabaknya sebelum dingin, tapi kenapa kursi kosong saja sulit sekali dicarinya?!
Nala menghela napas. Ia berhenti sejenak. Matanya memindai sekeliling yang ramai akan pasangan pasangan, baik yang muda maupun yang sudah memiliki anak.
Saat melewati stand minuman, Nala berhenti, ia mengusap usap dagunya, "Bukannya tadi gue mau beli minum, ya?"
"Hemm, iya nggak sih?" Nala masih berusaha mengingat, ia melirik makanan yang dipegangnya, "Beli ajalah, haus juga."
Nala mundur beberapa langkah dan menghampiri stand minuman tersebut, "Yang rasa matcha, ya, Mas!"
Nala menunggu sambil bermain ponsel. Ah, disana ada pesan dari ayah yang menanyakannya. Nala lekas menjawab,
KAMU SEDANG MEMBACA
Nala's Crush
Random"Confes? Apa itu? Martabak varian baru kah?" Nala ingin move on, setelah bertahun tahun menyukai Rai, tapi tidak pernah ter-notice. Terlebih ditahun ajaran baru nanti, Nala yakin 100% tidak akan satu sekolah lagi dengan Rai. Tapi keyakinan Nala run...