Satu-satunya yang Hinata Hyuuga miliki adalah keteguhan hatinya pada cinta yang tidak pernah terbalas, sampai akhirnya dia menyerah demi kebahagiaan pemuda yang dicintainya.
Sejak kecil, hubungan mereka dimulai antara jendela yang berhadapan, lalu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🍁🍁🍁🍁
Hinata tidak pernah menyadari kalau permainan Toneri itu sangat menakjubkan. Orang bilang ibu Toneri adalah seorang pianis terkenal, sehingga wajar bagi Toneri untuk mewarisi bakat ibunya. Semua tampak sempurna, kecuali kabar kurang mengenakan tentang ibu pemuda itu yang meninggal karena bunuh diri.
Di tengah kesunyian setelah permainan terakhir Toneri, Hinata bertepuk tangan. Hari ini, tidak banyak orang yang datang ke klub musik, dikarenakan hampir yang ada di klub itu adalah kakak kelas tiga. Semuanya sibuk mempersiapkan ujian untuk masuk ke perguruan tinggi, juga jenjang karier yang tidak bisa diabaikan oleh mereka begitu saja. Jadilah, di klub itu hanya ada Hinata dan Toneri di kelas dua. Mereka bahkan tak pandai menggaet satu pun dari anak-anak baru di kelas satu. Semua orang hampir tak tertarik dengan musik karena bagi mereka itu terlihat sulit.
Masih di ruangan musik, Toneri tiba-tiba memberinya brosur yang terlipat dari dalam sakunya. “Apa ini?”
“Konser musik klasik,” ujar Toneri, sedangkan Hinata lagi-lagi terpesona hanya karena kertas yang diterimanya dari Toneri, itu pun agak lecet karena sepertinya terlalu lama dilipat. “Kalau kamu mau pergi bersamaku, aku akan mendapatkan tiket itu untuk kita. Selama ini aku tidak punya teman untuk pergi menonton orkestra.”
Bukankah itu terdengar menyedihkan? Itu sebabnya Hinata tidak bisa berkata-kata, selain dia mengangguk untuk setuju pergi bersama Toneri melihat musik klasik, yang hampir membuatnya penasaran bagaimana dia bisa pergi ke Tokyo Symphony Orchestra suatu hari nanti, sebab ibu dan ayahnya tak bisa pergi bersamanya, karena pada saat dia masih memainkan pianonya, adiknya Hanabi, terlalu rewel untuk diajak melihat pertunjukkan semacam itu.
Saat di tempat kursus, anak-anak lain membicarakan pertunjukkan yang menarik, Hinata hanya mendengar bagaimana mereka menceritakannya dengan begitu takjub seorang pianis dan konduktor berperan penting dalam permainan musik klasik yang dibawakan Tokyo Symphony Orchestra.
“Aku bisa memesan tiket untuk pekan ini.”
“Apa kamu serius?” Hinata berbinar, tulang pipinya memerah karena dia sangat senang. “Aku bisa transfer uangnya kalau begitu ke akunmu. Biarkan aku membayar bagianku.”
“Tidak perlu, aku traktir ya,” Hinata menarik lengan Toneri, itu tampak tidak adil, karena Hinata berpikir, dia harusnya membayar bagiannya sendiri. Dia tidak mau membebankan temannya untuk tiket konser musik klasik yang mahal. “Tidak apa-apa, kamu jangan khawatir, aku dapat potongan harga karena kami teman dekat.”
“Apakah ada yang seperti itu?”
Toneri kelihatan sekali kalau dia tidak suka ada orang yang menolak kebaikannya. Wajah cemberut dan tidak baik-baik Toneri itu, meyakinkan Hinata untuk tidak membiarkan kebaikan tulus itu ditolak.