Satu-satunya yang Hinata Hyuuga miliki adalah keteguhan hatinya pada cinta yang tidak pernah terbalas, sampai akhirnya dia menyerah demi kebahagiaan pemuda yang dicintainya.
Sejak kecil, hubungan mereka dimulai antara jendela yang berhadapan, lalu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🍁🍁🍁🍁
Makan malam pekan dihadiri anggota lengkap. Mungkin saja kebahagiaan seperti biasanya menyertai mereka, walau anak-anak terlihat masih saling bersungut marah.
Hinata hampir tidak mengatakan apa-apa selama duduk dengan nyaman di kursinya, menikmati puding karamel buatan ibunya. Gadis itu lebih aktif berinteraksi dengan adiknya ketimbang dengan Naruto yang hanya memandangi puding karamel tidak berminat.
Masih di sela-sela kebersamaan mereka itu, Kushina tiba-tiba berseru, “Naruto baru saja membeli gitar baru. Dia sudah lama tidak bermain gitar, dia ingin belajar dari awal.”
“Ya ampun, bukankah dulu Naru sering berduet dengan Hinata?” Hiashi terkekeh, dia ingat SMP kelas dua, sebelum acara perpisahan di sekolah Naruto dan Hinata pada saat itu, mereka berdua membuat pertunjukkan yang berkesan. Semua orang menikmati permainan mereka. Meskipun butuh setidaknya enam bulan Naruto menghafal setiap kunci-kunci gitar. “Naru, apa kamu berencana untuk berduet bersama Hinata lagi nanti saat kelulusan?”
Anak itu hanya tertawa malu sambil melirik Hinata, tetapi gadis itu tak merespons. Naruto sedikit kecewa, tapi masalahnya dia tidak bisa menyalahkan Hinata lagi, kalau-kalau gadis itu marah karena kasus di Beppu dan banyak lagi. Shion bilang, Hinata menyukainya terlepas dari apa yang orangtuanya ingin mendekatkan mereka. Masalahnya, hati orang pun bisa berubah kalau tidak dihargai. Naruto memahami maksud Shion, sebelum terlambat, dia harusnya segera memperbaiki semua kesalahan yang sudah terjadi.
Setelah acara makan malam pekan selesai, Naruto dan Hinata berkesempatan untuk membersihkan meja makan itu bersama-sama ketika makan malam kali ini berada di halaman rumah keluarga Uzumaki yang besar, dipenuhi oleh budidaya tanaman hias, dan rumah kaca sederhana.
“Hinata,” gadis itu masih tidak menyahut, tapi Naruto berusaha untuk terus mencairkan ketegangan di antara mereka. “Apa di klub musik masih ada yang kosong? Aku ingin mendaftar untuk kembali mempelajari gitar. Kalau begitu besok minta minta formulir pendaftarannya. Apa aku juga harus pergi bertemu Obito?”
“Kurang bisa aku dapat memahami kenapa kamu harus pergi ke klub musik,” Hinata berputar menghadap Naruto yang kedua tangannya dipenuhi oleh piring-piring kotor. “Kamu bisa belajar sendiri, bukankah kamu sudah menghafal semua kuncinya? Kamu hanya perlu untuk belajar secara mandiri, tidak perlu ikut masuk klub musik kalau cuma ingin berpartisipasi."
Naruto menunduk, dia merasa sangat putus asa. “Maaf,” kata Naruto dengan nada penuh penyesalan. “Aku hampir tidak pernah menggunakan otakku. Saat itu, aku terlalu khawatir terjadi sesuatu padamu, sampai akhirnya memukul Toneri di Beppu. Aku tidak akan menutupinya lagi. Aku cemburu,” Naruto tidak peduli kalau Hinata tidak memercayainya. Paling tidak, dia harus mengatakan apa yang dirasakannya selama ini, dan rasa berdosa yang terus menghantuinya.