Satu-satunya yang Hinata Hyuuga miliki adalah keteguhan hatinya pada cinta yang tidak pernah terbalas, sampai akhirnya dia menyerah demi kebahagiaan pemuda yang dicintainya.
Sejak kecil, hubungan mereka dimulai antara jendela yang berhadapan, lalu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🍁🍁🍁🍁
Ibu Hinata terkejut, pagi-pagi sekali anak tetangga baiknya itu sudah ada di depan rumahnya. Hikari bahkan tidak tahu bagaimana harus mengatakan, “Eh, Hinata sudah berangkat,” saking takutnya salah berkata, Hikari perlu tersenyum semanis mungkin agar Naruto tidak kecewa. “Kamu mau mengajak Hinata berangkat bersama?”
Naruto hanya terdiam di depan pintu kemudian. Sepagi ini Hinata sudah berangkat ke sekolah, dan apakah gadis itu sedang punya jadwal piket yang mengharuskan pagi-pagi sekali untuk pergi ke sekolah—ya, biasanya memang begitu. Naruto pun berpamitan, dia tidak ingin berlama-lama berada di sana.
Sampai di halte bus, Naruto hanya termenung di tempat duduknya seperti orang sinting yang tidak peduli pada sekitarnya, bahkan ketika dia melihat Shion duduk, dia tidak terlalu peduli seperti biasa. “Ada apa nih?” tanya gadis itu, merasa terusik dengan wajah Naruto yang terlihat kecewa, padahal ini masih pagi. Mungkinkah masih memikirkan kejadian tempo hari saat Kunjungan Lapangan. Gadis bernama Hinata tidak pulang dengannya, melainkan pulang dengan Toneri Otsutsuki. “Ya, kalau kamu kecewa, membuatku tidak bisa berkata-kata.”
Ia hanya tidak ingin terusik atau malah termakan omongan Shion—meskipun ada benarnya yang dikatakan gadis itu. Shion gadis yang paling peka dan Naruto tidak dapat menutupi apa yang terjadi padanya di depan gadis itu. “Aku mungkin harus bermain gitar lagi,” Shion menoleh, tidak percaya dia mendengar itu. “Sepulang sekolah, antar aku pergi ke toko peralatan musik, aku ingin membeli gitar.”
Shion terdiam sebentar, lalu terbahak-bahak. “Kamu merasa kalah dari pemuda berambut putih itu?” gadis itu terdengar mengejek, Naruto semakin merasakan panas di hatinya. “Baiklah, sepulang sekolah, ‘kan? Akan aku kosongkan jadwal.”
Di sekolah, Naruto bahkan tidak langsung bisa melihat Hinata. Setiap dia datang ke kelas, Hinata sudah tidak ada di kelasnya, dan kemungkinan besar pergi dengan Toneri. Sementara teman-teman Hinata menghadang di depan pintu, terutama Sakura yang melipat kedua tangan di depan dadanya dengan muka marah dan tidak sukanya yang seperti biasa dia tunjukkan kalau ada yang mencoba menjahili Hinata.
“Mau apa kamu datang kemari?” tanya Sakura ketus. “Kamu pasti mau menuduh Hinata yang tidak-tidak, ‘kan?” Naruto mendengkus, lalu pergi dari sana tanpa menciptakan perdebatan yang bisa saja merugikannya. Teman Hinata yang satu itu memang agak lain orangnya. Kalau sudah berbicara dengan nada marah, sulit dikendalikan. “Dasar! Kamu mengabaikan aku? Awas saja kalau sampai kamu membuat Hinata menangis lagi, akan aku bunuh kamu!” Sakura berteriak kesetanan di tempatnya sampai napasnya hampir menghilang. “Ampun, kenapa ada cowok berengsek seperti dia di dunia ini sih?”