Satu-satunya yang Hinata Hyuuga miliki adalah keteguhan hatinya pada cinta yang tidak pernah terbalas, sampai akhirnya dia menyerah demi kebahagiaan pemuda yang dicintainya.
Sejak kecil, hubungan mereka dimulai antara jendela yang berhadapan, lalu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🍁🍁🍁🍁
Sebelum berakhirnya semester pertama di kelas dua, ada serangkaian kegiatan seperti Kunjungan Lapangan atau lebih dikenal dengan Belajar di Luar Ruangan—mengunjungi tempat-tempat bersejarah, bisa juga berkunjung ke museum sambil mempelajari kebudayaan.
Kegiatan tersebut paling digemari hampir semua murid di sekolah, dan kali ini mereka perlu menginap setidaknya tiga hari, karena perjalanan itu lumayan jauh dengan penerbangan.
Selama perjalanan menuju ke tempat belajar mereka di Prefektur Yamaguchi, kelompok mereka dibagi dari setiap masing-masing kelas. Ketua kelompok memastikan anggota mereka tetap bersama, dan jika salah satu dari mereka tidak terlihat di tempat belajar, ketua kelompok wajib bertanggung jawab dan melaporkannya pada guru penanggung jawab.
“Asyik, kita sekamar,” kata Ino senang. “Kita harus membuat permainan yang menarik nanti malam.”
“Maaf, tapi aku tidak betah tidur terlalu larut,” ujar Hinata, setelah jam sepuluh lewat, dia pasti bakal mengantuk, lalu tertidur. "Asalkan ada permainan yang menarik," katanya menggoda Ino.
"Aku diam-diam membawa kartu,” Hinata berbisik ke telinga Ino dan Sakura. “Bagaimana? Jangan sampai ketahuan,” setelah membicarakan rencana mereka di kamar, ketiganya akhirnya terbahak-bahak.
Taman Kuasi Nasional Akiyoshidai sangat luas dan indah. Seluruhnya diselimuti oleh pemandangan hijau yang memanjakan mata. Langit biru yang terlihat sangat cerah di atas mereka menambah keindahan, sementara ketika Hinata melihat langit dengan sinar matahari menyelimuti wajahnya, seseorang meletakkan tangannya di atas, sehingga dia tidak lagi merasa silau karena cahaya matahari yang menusuk pandangannya.
“Toneri,” seru Hinata terkejut. “Bagaimana dengan teman sekamarmu? Apakah mereka mencoba menjahilimu lagi?"
“Tidak, meskipun aku akhirnya dapat kasur paling pojok dekat jendela,” Toneri agak merengut, tetapi ditutupi oleh tawa canggungnya yang lucu. “Tidak masalah.”
“Apa kamu takut hantu?”
Toneri tergelak, lelaki itu jarang sekali melakukannya. “Tidak, aku tidak terlalu percaya dengan adanya hantu.”
“Kamu benar, hantu itu tidak ada,” Hinata masih mencermati Toneri, takut sesuatu terjadi padanya, karena Toneri hampir tidak pernah mengatakan apa yang paling tidak disukainya atau apa yang menyulitkannya selama di sekolah. Dia lebih suka membuat wajah selalu gembira maupun canggung karena suatu hal. “Kamu yakin tidak apa-apa? Kamu kelihatan sekali ingin mengatakan sesuatu sekarang. Katakan apa pun padaku, aku akan mendengarkanmu."
“Uhm, saat berkeliling apakah tidak masalah aku masuk ke kelompok kalian? Semuanya perempuan, aku hanya tidak nyaman, yang lainnya pasti tidak suka ada anak cowok di sekitar mereka.”