Satu-satunya yang Hinata Hyuuga miliki adalah keteguhan hatinya pada cinta yang tidak pernah terbalas, sampai akhirnya dia menyerah demi kebahagiaan pemuda yang dicintainya.
Sejak kecil, hubungan mereka dimulai antara jendela yang berhadapan, lalu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sejak pengakuan tempo hari, Hinata yakin kalau sebaiknya dia tidak berhubungan lagi dengan Naruto. Selama apa pun dia mencoba memikirkan keputusannya itu, Hinata selalu berhenti pada jawaban yang sama; untuk sampai di sini, karena hatinya harus tetap dijaga agar tidak kembali terluka.
Setiap hari, tidak sekali Hinata berpapasan dengan Shion, gadis itu menyapanya seperti biasa, dan kasus tempo hari seolah tidak pernah terjadi di antara mereka. Kalau diingat pun itu tampak memalukan. Semua orang melihatnya terjatuh tepat di dekat Shion, seakan-akan dia mencoba menghasut Shion, anak-anak lain pun berhenti membicarakan atau membanding dia dengan Shion. Di luar dari yang Hinata harapkan, gosip murahan itu cepat berlalu dengan sendirinya.
Di tempatnya berdiri, di lantai tiga saat Hinata memeluk buku-bukunya, Hinata bisa melihat interaksi Naruto dan Shion, seperti interaksi dia dan Naruto beberapa waktu lalu, ketika mereka masih dekat. Menjadi sebuah misteri mengapa mereka harus berakhir punya hubungan yang kurang baik, lagi pula Hinata malas untuk mencari semua kesalahan itu terletak pada siapa. Dia pergi melalui semua masa lalu itu, daripada melihat dan menilai sesuatu yang menyesakkan dadanya.
“Hinata,” Toneri berlari ke arahnya sambil membawa sesuatu. “Tiket. Aku sudah mendapatkannya, kita bisa pergi pekan ini,” pemuda itu terlihat sangat bahagia, wajahnya lebih cerah dari pertama kali Hinata mengenal Toneri, yang anehnya suka menunjukkan wajah tidak berminat pada sesuatu di sekitarnya.
Hinata pikir orang-orang bakal lebih banyak membicarakan anak itu, kalau Toneri mau berjalan sebentar saja di dekat Naruto dan kawan-kawannya. Anak-anak lain tidak akan pernah menganggapnya sebagai pemuda suram, karena bisa dilihat dari wajahnya Toneri itu lumayan tampan.
Hinata memberikan sapu tangannya kepada Toneri. “Kamu berkeringat,” katanya pada pemuda itu. “Aku heran kenapa kamu sangat bahagia sekali mendapatkan tiket musik klasik itu.”
“Karena aku akan pergi bersamamu,” Toneri terlihat senang bisa pergi bersama seorang teman, Hinata tidak menyangka bagaimana pemuda itu memandangi tiket itu dengan mata yang berbinar senang. Dia jadi merasa kasihan melihat Toneri tak bisa dekat dengan siapa pun. Anak laki-laki di kelas, seringnya menggoda Toneri, hampir terlihat seperti menindasnya. “Ini akan jadi hari yang tidak terlupakan.”
Walaupun itu terdengar berlebihan, Hinata tidak mencegah Toneri untuk merasa senang. Laki-laki itu berhak untuk bahagia, meskipun sekadar menonton konser bersama.
Mereka berdua kemudian berjalan ke kelas, membicarakan apa saja tidak terkecuali musik yang mereka mainkan tempo hari.
Sebenarnya Toneri menganggap bahwa permainan Hinata jauh lebih bagus daripada Toneri yang hanya sekadar kagum pada piano yang dimainkan ibunya, lalu dia berusaha meniru ibunya untuk memainkan semua lagu yang disukainya.
Sampai di kelas, Hinata mendekati bangku Ino dan Sakura, mereka bercanda seperti biasa sebelum kembali melanjutkan kelas yang sempat tertunda. “Ada tempat makan yang kelihatan enak sekali,” Sakura berseru dengan semangat. “Mau pergi bersama?”
“Boleh,” Hinata kemudian melirik Toneri yang malu-malu di tempatnya, kelihatan sekali kalau ingin diajak. “Kamu mau ikut bersama sepulang sekolah?” Sakura mencermati secara bergantian Toneri dan Hinata, lantas begitu Toneri mengangguk, Hinata kembali ke Sakura. “Kita bisa pergi berempat, lebih banyak orang akan lebih baik.”
Ino tertawa canggung. “Benar, tentu saja.”
Sewaktu istirahat setelah makan siang, Toneri dan Hinata pergi ke ruang klub musik seperti biasa. Kali ini semua kakak kelas tiga hadir, mereka berencana untuk pergi ke suatu tempat nanti—ini masih direncanakan—mereka tidak sabar menyambut anggota baru di klub musik, padahal sewaktu Hinata masuk ke klub tersebut, semua orang antusias, tapi tidak ada yang mengundangnya ke acara penyambutan. Tahu Hinata tidak senang diperlakukan berbeda, kakak kelas bernama, Obito, sepupu dari Sasuke Uchiha mencoba menenangkannya.
“Hinata Sayang, apakah kamu tidak suka?”
“Senior, ini tidak adil,” Hinata merengut tidak terima. “Aku tidak pernah diberikan pesta penyambutan.”
“Jangan berkecil hati begitu dong, pesta ini juga dibuat untukmu. Tahun kemarin kita tidak punya waktu untuk membuatnya, karena kamu tahu sendiri saat itu bukan aku yang jadi ketua klub,” waktu itu adalah senior Yugito, yang mengatur semua jalannya acara di klub musik, dan tidak terlalu suka acara formal untuk penyambutan, apalagi muka Yugito yang dingin hampir membuat anak-anak di sekolah tidak mau masuk ke klub musik. Saat festival tahun ini, mereka harus berhasil menggaet setidaknya satu saja anggota tidak masalah, itu sudah lebih dari cukup.
Setelah pertemuan singkat di klub musik, kakak-kakak kelas tiga kembali, sementara Toneri dan Hinata seperti biasa, mereka berakhir memainkan satu lagu, baru meninggalkan ruang musik setelah itu.
Toneri senang dengan permainan Hinata, sebaliknya Hinata pun senang dengan permainan Toneri. Pemuda itu lihai memainkan dengan gerakan jari yang lebih cepat untuk lagu-lagu energik, sedangkan bagi Toneri, Hinata selalu memilih lagu dengan tema gelap dan dingin. Apakah itu menggambarkan bahwa hatinya sedang terluka?
Toneri semakin tidak percaya diri, apakah dia punya kesempatan suatu hari nanti untuk menyatakan cinta kepada Hinata, mengingat semua orang membicarakan gadis itu menyukai Naruto Uzumaki yang digadang-gadang sebagai pemain basket terbaik antar sekolah. Sudah bisa dilihat, Toneri tidak punya apa-apa untuk membuat Hinata menyukainya.
Toneri tidak suka dengan pemuda sombong itu, yang sudah berkali-kali membuat Hinata menangis. Meskipun banyak kesempatan Toneri dapat meluluhkan hati Hinata dengan perhatian, Toneri masih tidak cukup percaya diri kalau dia mampu melakukannya.
Orang bilang, dia kelihatan sangat pucat, dan banyak yang berkomentar soal penampilannya itu. Akhirnya, Toneri menyadari kalau dia tidak terlalu tampan seperti pemuda seusianya. Tapi ibunya selalu mengingatkan Toneri untuk tampil lebih percaya diri.
“Toneri, apa kamu sakit?” dengan tersenyum dan menggelengkan kepala, Toneri memerhatikan Hinata yang terlihat khawatir kepadanya. “Ayo kita kembali ke kelas.”
“Aku punya sesuatu untukmu,” Toneri mengeluarkan kotak kecil dari saku blazer, dia menyerahkannya kepada Hinata, sekotak kecil cokelat truffle. “Aku membuatnya sendiri,” dia tidak pernah memberikan cokelat buatannya itu kepada seorang teman, bahkan sebelum menyerahkan sekotak cokelat, Toneri memikirkannya sampai berhari-hari. “Semoga kamu suka.”
“Apa hanya karena ini kamu sampai kelihatan seperti orang bingung?”
“Ini baru pertama kalinya aku memberikannya kepada seseorang,” Hinata terdiam sebentar mencermati sebagus itulah bungkus truffle yang ada di atas telapak tangannya. “Kalau kamu suka, aku bisa membuatnya lebih banyak lagi untukmu."
“Tentu saja, aku suka,” Toneri terkesima, saat melihat Hinata tersenyum dengan bahagia di depannya, seolah senyuman gadis itu membuat bunga-bunga di musim semi bermekaran. “Aku juga suka Toneri yang baik hati. Terima kasih, aku akan menantikan cokelat buatanmu yang lain.”
Ini pertama kalinya bagi Toneri sangat menantikan untuk membuat banyak cokelat, lalu diberikan cokelat tersebut ke seorang teman.
Semenjak kabar ibunya meninggal karena bunuh diri dengan minum banyak obat antidepresan, saat itu juga kehidupan Toneri tidak lebih seperti menunggu kematiannya tiba. Sampai-sampai dia berencana untuk melakukan hal yang sama untuk mengakhiri hidupnya.