Satu-satunya yang Hinata Hyuuga miliki adalah keteguhan hatinya pada cinta yang tidak pernah terbalas, sampai akhirnya dia menyerah demi kebahagiaan pemuda yang dicintainya.
Sejak kecil, hubungan mereka dimulai antara jendela yang berhadapan, lalu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seperti tahun kemarin, Hinata merasa kecewa kalau dia lagi-lagi tidak bisa menjadi manajer klub basket di sekolahnya. Kali ini, dia tidak lulus seleksi karena Hinata memiliki riwayat saluran pernapasan yang meradang, meskipun itu tidak mengganggu, tapi jika terlalu lelah atau aktivitas yang padat, riwayat tersebut bisa menjadi lebih serius. Pelatih di klub basket tidak ingin mengambil risiko hanya untuk mencari seorang manajer mereka perlu berurusan dengan situasi genting yang bakal dialami.
Hari ini, Naruto juga menolak makan siang bersama, padahal pohon sakura lebih bagus kalau mereka melihatnya langsung dari bawah sambil menikmati bekal.
Naruto lebih sering menghabiskan waktunya bersama teman-temannya, dengan bercanda, dan pergi ke kantin bersama. Setiap mereka berpapasan Naruto bahkan tidak menyapa Hinata, seolah mereka terlibat perang dingin entah sejak kapan.
Kalau Hinata pergi ke kelas, semua anak-anak mulai menggoda mereka, kalau sudah begitu, Naruto hanya akan pura-pura tidak dengar, lalu bangkit dari duduk, hingga tidak terlihat batang hidungnya sampai jam pulang sekolah.
Ino maupun Sakura, sangat prihatin kepadanya, dan kedua temannya itu pun tidak bisa membantu. "Dia pasti marah, 'kan?" Hinata tidak tahu kenapa Naruto marah kalau memang begitu, toh mereka selama ini biasa saja, masih berangkat bersama-sama, walaupun pada akhirnya Naruto tetap seperti menghindarinya.
"Hinata, jangan patah semangat ya, kamu sudah tahu kalau semua anak laki-laki itu memang egois seperti Naruto."
Benar, semua anak laki-laki menyebalkan seperti Naruto. Kenapa Hinata harus berlarut sedih ketika pemuda itu menghindarinya. Namun sudah sepantasnya bagi Hinata mempertanyakan hubungan mereka ke depannya dan mengapa pemuda itu terlihat kesal padanya.
Hinata sangat sulit memahami kenapa mereka harus merenggang suatu hari nanti, padahal hubungan mereka sangat baik bahkan dari segi keluarga mereka yang harmonis. Semua orang berharap mereka bersama-sama. Apakah itu terdengar mustahil? Apa Naruto tidak menyukainya? Apa kalau begitu yang tidak disukai anak itu dari Hinata?
Semua pertanyaan itu melintas di kepala Hinata. Padahal dia sangat suka Naruto. Dia berani untuk memprioritaskan pemuda itu dari seluruh kepentingan yang sedang dikerjakannya.
Setelah istirahat lima belas menit setiap pergantian mata pelajaran, Hinata kembali fokus untuk belajar daripada memikirkan mengapa hubungan itu tak kunjung membaik. Masa-masa SMA bukankah harusnya dihabiskan untuk hubungan yang lebih manis, mengingat setelah memasuki kelas tiga nanti, mereka mungkin akan sibuk untuk mengurus ujian masuk perguruan tinggi.