Bencana

5.3K 324 0
                                    

"Sialan, berikan obat penenang. Ia akan memecahkan tabung nya." Titah seorang pria dengan muka mencekam nya. Ia memandang panik adik nya yang sedang menatap diri nya tajam. Seakan memiliki dendam.

Semua orang yang berada di ruangan pun hanya mengikuti perintah yang ada. Mereka memasukkan sebuah cairan hingga membuat orang yang berada di tabung tersebut mendapatkan pandangan yang kabur.

Resdian menghela nafas lega. Ia mendekati tabung. "Jangan memandangi kakak mu seperti itu, anak nakal." Ucap Resdian, ia pun kembali berucap, "Ketahuilah, nama mu A." Akhir Resdian, ia beralih menjauhi tabung dan keluar dari ruangan yang minim cahaya tersebut.

A hanya memandang orang asing yang berada di depannya ini, tidak, itu bukan orang asing... ia hanyalah orang yang ia lupakan.

Nama ku, A.

Siapa dia?

Ia mengenalku?

Kenapa?

Pikir A, ia sempat memandang hampa dan langsung pingsan dikarenakan cairan asing yang mempengaruhi nya.

---

"Tuan, kenapa Anda memberikan Tuan Arenka dengan nama, A?," dengan hormat, ia melontarkan pertanyaan yang seharusnya tidak perlu di tanyakan.

Resdian memandang hampa langit ruangan nya. "Arenka tidak akan memandang ku seperti itu." Lirih Resdian, "Tetapi, aku cukup sadar diri, karena aku sudah memperkirakan hal ini akan terjadi." Ucap Resdian kembali.

Suasana seketika senyap. Hingga Resdian membuka suara lagi, "Perlihatkan hasil perkembangan A belakangan ini, Fredrin." Titah Resdian.

Fredrin dengan ligat memberikan laporan yang di minta.

Resdian menerima dengan berat hati, menghela nafas berat.

Di satu sisi ia bahagia dan di satu sisi pula ia gelisah. Seakan perasaan nya campur aduk, satu tatapan saja sudah membuat diri nya gelisah.

Resdian terus membaca laporan yang ada, laporan yang tertata rapi dengan penjelasan yang rinci. Perkembangan A selama 8 tahun ternyata cukup baik.

"Sialan ini ternyata sudah berumur 18 tahun sekarang dan tunggu? Kenapa ia lebih tinggi dari ku?," protes Resdian, ia menatap Fredrin tajam.

"Tuan, Anda menyuruh saya untuk menjadikan adik Anda menjadi orang yang tinggi dan kuat." Balas Fredrin seadanya. Ia mengatakan hal yang ada, tidak terdapat campuran omong kosong di kalimat itu.

"Kau terlalu lama berbicara, Fredrin." Resdian tidak terima dengan alasan tersebut. Fredrin sendiri hanya bisa menghela nafas dan berpamitan pergi.

---

"Hai, Tuan A. Saya Fredrin, senang bertemu dengan Anda kembali." Sopan Fredrin sembari membungkukkan badannya.

A memandang dua orang didepannya, berusaha untuk menyelidiki. Ia merasa marah di satu sisi, ia perlu menyelidiki lebih dekat, ia di halangi oleh tabung sialan ini.

Ia perlu memandang seseorang itu lebih dekat, betul, seseorang itu..

A memandangi orang yang sedang duduk di depannya ini. Memandang tajam, bagaikan memandang musuh.

Fredrin yang melihat hal itu melirik ke arah Tuan nya yang tepat di sebelah diri nya. Tidak ada reaksi apapun yang terlihat dari penglihatan nya.

"Anak nakal, aku tidak akan membebaskan mu jika kau terus menatap ku seperti itu." Ancam Resdian, ia lebih memilih buka suara, ia akan terus memarahi adik nya ini jika berbuat sesuatu yang buruk.

Seakan mengerti, tatapan A pun melunak. Lebih tampak seperti mata berbinar?

Resdian membeku sejenak, mata yang sangat mirip seperti adik nya saat masih kecil. Adik nya sering kali menggunakan pandangan tersebut untuk meminta sesuatu kepadanya.

A memandang bingung reaksi yang baru ia lihat pertama kali. Dengan pikiran yang mengerti, ia tersenyum hingga mata nya juga ikut tersenyum.

Fredrin menganga tidak percaya menyaksikan hal yang ada di depan matanya.

Berbeda dengan Resdian yang mengalihkan pandangannya. Ia ingin mengutuk pandangan sialan tersebut.

Tanpa di disadari, A sudah terlebih dahulu menyeringai seakan mengerti apa yang terjadi.

"Baiklah, mungkin minggu besok. Ya, pasti minggu besok." Gagap Resdian, ia sudah lama tidak melihat mata itu.

"Fredrin, ku serahkan A kepadamu." Akhir Resdian berlalu pergi.

---


with uTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang