19

492 41 0
                                    

"Dan, jare awakmu bar menang lomba maneh ta?" tanya Bu Hana, salah satu tetangga Danu yang tinggal beberapa rumah dari tempat tinggalnya.

Danu yang baru saja pulang sekolah melambatkan langkah dan tersenyum. "Iya." Dia menjawab penuh kebanggaan.

"Pinter men kowe."

"Halah, muk lomba mewarnai wae kok bangga. Anakku ya iso. Lagipula nek gede meh nggo apa? Ra guna." Mak Tutik, tetangga yang tinggal bersebelahan dengan Bu Hana ikut berseloroh sembari menggendong anaknya yang berusia satu tahun. "Jare Damar ditawani beasiswa mah nolak, kerja nggo nyekolahke adi ne sing gawe ane muk gambar ro dolan wae. Goblok. Bocah kok madesu kabeh."

"Mak, jo ngunu kui. Nasib e bocah ki gak ana seng weruh." Bu Hana merasa tak enak hati pada Danu, apalagi Mak Tutik tiba-tiba datang dan ikut menimpali pembicaraan.

"Halah, kabeh wes kethok. Bocah pinter bakalan dadi pegawai, pns. Tukang gambar meh dadi apa? Pelukis? Ra ana hasil e."

"La bapak ne lo dadi pns."

"Honorer wae muni pns."

Danu terdiam. Ini bukan kali pertama dia mendengar umpatan tentang keahliannya. Tak masalah. Justru ucapan mereka semakin membuatnya yakin untuk memenangkan lomba dan mendapatkan uang. Agar kakaknya bisa melanjutkan sekolah. Ya, karena Damar memang hebat juga pintar seperti yang dikatakan orang-orang dan dia mengakuinya. Jauh berbeda dengannya. Nilai sekolah yang didapat juga pas-pasan. Jika bukan karena Damar yang menegarkan dirinya bahwa semua anak memiliki keistimewaan sendiri, mungkin dia akan menjadi anak yang tak percaya diri.

Danu mengalih dari pembicaraan yang selama ini diabaikan dan pulang. Bukannya lekas ganti baju, dia justru mengambil uang tabungan yang disimpannya seraya mengeluarkan uang receh dari sakunya. Uang hasil menjadi suruhan. Dimasukkan koin-koin hingga menimbulkan suara saat saling beradu. Diperhatikan juga lembaran uang berwarna hijau juga biru hasil lomba di dalamnya. "Aku yakin Mas bisa sekolah lagi lalu jadi guru seperti Bapak." Dielus botol minuman yang dijadikan celengan olehnya. Tak lupa dilayangkan doa setinggi-tingginya agar uangnya lekas cukup dan bisa membuat kakaknya kembali ke bangku sekolah. Karena dia ingin memberi kebahagiaan bagi Damar.

Bangkit, dia kembali ke ranjang. Membuka kasur bagian ujung dan mengambil dua lembar uang berwarna merah yang diterimanya beberapa hari yang lalu. Dipegangnya lama. Ada keraguan di hati hingga yang dilakukannya justru meremas lembaran uang. "Ya, Allah. Kalau niatku mau bantu gak dosa 'kan?"

****

Damar tengah melayani pembeli. Membungkus kue basah ke dalam kantong plastik. Ya, rutinitasnya setiap pagi hingga menjelang siang. Lalu saat pembeli pergi, dia akan menghitung uang. Sesekali saja bertukar cerita dengan Yu Siwi yang berada di samping lapaknya atau justru mendengarkan gosip terbaru.

"Jare adimu bar menang lomba neh, ya? Aku diomongi ponakanku, wingi nang balai desa juga menang ta?" tanya Yu Siwi yang duduk menunggu pembeli. Tempe benguknya sudah hampir tak tersisa.

"Nggeh, Yu."

"Pinter ya, Danu."

Damar tersenyum. Ada kebanggaan ketika orang lain memuji adiknya. Tentu saja. Dulu semua orang meragukan, bahkan mengolok-olok Danu karena tak sepintar dirinya. Juga lambat menerima pelajaran. Siapa sangka sekarang justru melesat dengan kemampuan yang diwariskan ayahnya. Walau masih sekedar mewarnai, kemampuan menggambar juga tak kalah hebat. Dia mengakuinya. Untuk itu dia juga akan terus bekerja demi Danu.

Baru asyik bercengkerama dengan Yu Siwi, Pak Wahyudin datang.

"Mar, iso njaluk tulung gak?"

Wajah Damar yang tadi penuh keceriaan langsung berubah tegang. Sejak insiden mendengar ucapan Pak Wahyudin tempo hari. Damar memang menjaga jarak. Sempat terbersit keinginan untuk berhenti dan fokus di pencucian motor. Namun, mengingat kebaikan yang selama ini diberikan padanya, dia tetap bertahan. Apalagi suasana di pasar sangat berbeda dengan pencucian, penuh kehangatan walau tak jarang penuh ghibah.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang