28

484 52 2
                                    

Berjalan beriringan, Danu tak berniat membela diri. Apalagi meminta maaf. Sudah kepalang tanggung ketahuan. Lagipula apa salahnya membantu saudara? Bukankah di buku pelajaran juga disuruh tolong menolong? Dia tak paham, mengapa kakaknya terus saja melarang. Aneh.

Pergelangan tangan Danu yang tadinya dicengkeram kuat kini mulai mengendur sedang Damar terus saja berjalan. Tanpa sepatah kata. Sesekali suara kendaraan lewat memecah keheningan. Angin berembus sepoi menerpa wajah, menghilangkan keringat yang terus mengalir di dahi juga kaos mereka akibat kepanasan. Bahkan celananya yang tadi basah, kini mulai kering.

Setengah jam berjalan, kini mereka sudah sampai di depan rumah. Damar membuka pintu dan meminta Danu langsung ke belakang, mandi.

"Masih keringetan, Mas." Danu masih saja beralasan.

Menyingkir ke sumur, Damar menimba air dan mencuci wajah. Menenangkan diri setelah sekian kali melihat perbuatan Danu. Berulang kali menghela napas panjang, membiarkan angin mengikis amarah sebelum kembali ke dapur, membuat teh hangat.

Dari kamar mandi, suara guyuran air menandakan Danu sudah menuruti perintah walau tadi sempat membantah. Dibiarkan tanpa mengomel seperti biasa.

Tak lama, Danu keluar menuju kamar, memakai baju dan muncul kembali tanpa rasa bersalah. "Mas laper, ya. Tak ambilin, ya." Dia berjalan menuju rak kayu yang sudah mulai lapuk, mengambil piring plastik.

Tak seperti biasanya, Damar tak mengomel setelah marah. Danu dibuat keheranan. Sesekali melirik raut wajah yang begitu kecewa. Namun, dia tetap kukuh pada pendiriannya. Dia tak salah. Kakaknya saja yang tak mau menerima niat baiknya.

"Ini, Mas." Danu menyodorkan sepiring nasi dengan lauk tempe orek sisa pagi tadi. Dengan sayur sop yang lebih banyak berisi kol.

Damar masih terdiam walau tangannya menarik piring ke hadapan. Perlahan menyendok makan siangnya. Menerima bendera perdamaian yang diberikan sebagai wujud cinta.

"Mas, Om tadi baik. Aku jual undur-undur laut eh dikasih uang seratus ribu lo. Tunggu sebentar, aku ambil dulu uangnya." Danu mengambil uang yang masih tersimpan di saku seragam. Sedikit basah karena sudah diletakkan di ember lalu memperlihatkan dengan penuh bahagia. "Lihat Mas!"

Satu suapan sudah masuk ke mulut, tetapi kunyahannya berhenti. Damar menoleh, melihat wajah Danu yang masih saja berceloteh dengan penuh kebanggaan telah mendapatkan uang seratus ribu dengan mudahnya. Menjual undur-undur laut lalu menemani makan bersama. Betapa polos adiknya yang tak menaruh curiga pada orang lain. Yang terpenting uang didapat, entah disuruh apa pasti akan dilakukan.

Diletakkan sendok kembali ke piring, helaan napas panjang membuat Danu menghentikan cerita dan menoleh penasaran. Mengapa kakaknya sedari tadi terus saja diam? Mengomel pun tak dilakukan. Atau memberi apresiasi untuk pencapaiannya.

"Jadi kamu mencari undur-undur laut lalu menjualnya?" Akhirnya Damar buka suara.

Danu mengangguk seraya mengayunkan kaki ke depan dan belakang.

"Untuk apa kamu melakukan semua ini, Dan?" Kini pandangan Damar tertuju pada anyaman bambu yang memisahkan ruang tamu dengan dapur di hadapannya.

"Buat Mas. Biar cepat sekolah lagi. Kalau aku bantu 'kan jadinya cepet kekumpul deh uangnya."

Damar memutar tubuh. Tangannya memegang bahu adiknya. Dia tak tahu harus bagaimana untuk menghentikan adiknya yang masih saja mencari uang. Sebelumnya demi ibu mereka. Kali ini untuknya.

"Dan, berhentilah mencari uang. Biar Mas saja. Kamu cukup belajar."

"Gak mau." Danu melengos mendengar permintaan kesekian Damar yang masih saja tak paham dengan kemauannya. "Kenapa Mas gak mau menerima niat baikku untuk membantu? Katanya kita saudara? Kalau aku senang, Mas juga senang, tapi aku senang kalau Mas sekolah lagi. Kenapa Mas gak paham?"

"Dan, apa yang gak kamu sukai itu bukan berarti gak baik. Bukan begitu kata Pak Ustadz? Sama seperti yang terjadi pada Mas." Damar mencoba memberi penjelasan, tentu menggunakan embel-embel agama.

"Lalu apa aku juga salah kalau terus berusaha agar Mas bisa kembali sekolah?" Danu menaikkan intonasinya. Lalu genangan air seketika merebak di pelupuk mata. "Bukannya Allah suka kalau kita berusaha dan gak menyerah? Aku sudah berusaha patuh sama perintah Ibu, gak mengganggu keluarga barunya, tapi aku tetep mau Mas sekolah, karena katanya ... kita harus terus belajar ... kalau perlu pergi sampai ke China sana."

Damar terdiam. Mendengar apa yang menjadi keinginan adiknya.

"Aku mau kita terus bersama. Sekolah bersama. Cari uang bareng, kalau pun kelaparan asal sama Mas, gak masalah. Toh nanti kita masih bisa cari ikan." Perlahan air mata jatuh di wajah Danu. "Aku gak mau ditinggal pergi lagi. Aku mau sama Mas."

Damar memperhatikan Danu, hatinya dicengkeram kuat oleh kenyataan jika apa yang terjadi pada mereka telah menimbulkan luka. Takut kehilangan. "Dan, siapa yang bilang Mas akan ninggalin kamu? Kamu tahu Mas selalu pulang setiap hari. Mas akan selalu bersamamu, berjuang sampai kamu sukses."

"Gak mau. Bagaimana jika nanti aku gak sukses? Bagaimana kalau aku mengecewakan Mas? Aku gak sepintar Mas."

Damar kembali memegang bahu Danu lalu menyeka air mata. Dia baru menyadari jika ucapannya telah membawa beban tersendiri bagi adiknya. Sebuah tekanan untuk mencapai kata sukses di atas pengorbanannya. Atau hanya salah menilai. Bisa jadi, tolak ukur Danu terhadap kesuksesan adalah materi, rumah atau mungkin saja mobil. Padahal bisa berdiri dengan kemampuan sendiri, sudah lebih dari cukup.

"Dan, bagi Mas, asal kamu bisa berdiri dengan usahamu sendiri. Itu sudah sukses. Lihatlah sekarang! Kamu bahkan bisa menghasilkan uang dengan hasil karyamu. Itu berarti kamu sudah berhasil selangkah. Dan Mas, akan menemanimu sampai nanti di puncaknya."

"Gak, jika aku menjadi hebat itu karena Mas. Mas yang hebat karena sudah mendukungku dan aku gak rela ... jika Mas hanya bekerja di pencucian. Mas berhak mendapatkan yang lebih baik dari sekarang." Air mata Danu semakin berderai. Suaranya menyayat hati. Damar lekas memberi pelukan untuk menenangkan.

Sekarang dia paham, mengapa Danu melakukan semua hal itu untuknya. Tentu, karena menyayangi seperti halnya dirinya. Mereka ingin memberi yang terbaik satu sama lainnya.

Apakah sekarang waktunya dia mengalah? Membiarkan adiknya terbuai dalam mimpi-mimpi indah?

"Dan, ada kalanya orang pintar hanya menjadi budak orang. Itu juga bukan masalah."

"Tapi ada juga orang pintar yang jadi guru, Mas."

Lagi-lagi Damar diam. Tak mungkin dia mengatakan jika semua itu didukung dengan finansial yang memadai juga keberuntungan, di samping usaha dengan doa. Banyak faktor yang menentukan. Otak cemerlang tak selalu menjamin masa depan, walau peluang memang jauh lebih besar.

"Mas harus janji buat sekolah lagi."

Damar menggigit bibir, menghalau kesedihan yang menyayat hati. Mengapa kebahagiaan adiknya adalah hal yang tak bisa dia berikan? Mengapa begitu sulit mengabulkan? Bahkan jika disuruh memilih, tentu adiknya yang menjadi prioritas utama.

Lalu dekapan semakin erat, begitu pula kesedihan yang berubah menjadi air mata. Sembari menyeka butiran bening yang keluar, dia berkata, "iya, suatu saat Mas bakal sekolah lagi, tenang saja."

Biarlah. Mungkin lebih baik kali ini berbohong. Sudah terlampau kejam Damar memupuskan mimpi adiknya. Memangkas harapan yang dibalut doa-doa dan mencoba menghancurkan dengan kenyataan. Biarlah tunas itu tumbuh, menjalar mencapai langit. Siapa tahu ketulusan akan lebih mudah mengetuk pintu Tuhan?

Seharusnya dia sadar, adiknya tak seharusnya berada pada posisi yang sama dengannya. Karena sejatinya dia yang menjaga dari kerasnya dunia. Bukan membawa pada lembah yang sama. Ya, biarlah dia yang merasakan sakitnya menelan kenyataan asal Danu tersenyum bahagia.

Damar tak lagi berselera makan dan menggendong Danu ke kamar, menenangkan di kasur kapuk yang mulai apak. Perlahan semilir angin dari jendela meninabobokan mereka yang lelah menangisi dunia.

Melewati celah anyaman bambu, angin menerbangkan harapan yang dibalut kasih sayang. Membawa doa yang selalu dikira tak pernah dikabulkan. Sejatinya semua hanya ditangguhkan untuk beberapa saat. Menunggu waktu yang tepat diberikan sebagai hadiah. Untuk sebuah pengorbanan juga ketulusan.





My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang