21.

545 48 2
                                    

"Wan, apa kamu merasa ada yang aneh dengan Danu beberapa hari ini?" tanya Damar ketika pulang kerja dan berpapasan dengan Ridwan juga Habibi di jalan. Kedua teman Danu yang awalnya hendak kabur begitu melihat Damar, terpaksa berhenti.

Yang ditanya tentu sedikit ketakutan, walau Damar menanyakan dengan intonasi biasa. Dia menengok pada Habibi dan meminta bantuan menjawab dengan isyarat mata. Namun, temannya tak menggubris karena juga gentar.

"Ah, maksud e pie Mas?" Ridwan bertanya sembari memegang sepedanya dengan erat. Seperti ingin kabur jika sudah berhadapan dengan Damar. Takut jika salah berucap yang bisa menyebabkannya terkena omelan.

"Ya, Danu mengatakan sesuatu yang gak biasa."

Walau berusaha memikirkan apa yang ditanyakan Damar, nyatanya Ridwan tak ingat. "Koyo ne gak ana Mas."

Raut wajah Damar langsung berubah kecewa. Dia pikir bisa mendapatkan sedikit informasi dari kedua teman adiknya. Nyatanya tak ada. Apa yang diharapkan dari anak kecil?

"Yowes, suwun."

Ridwan merasa lega karena tak diinterogasi lebih lanjut. Jadi kedua teman Danu itu langsung naik ke sedel dan menggenjot sepedanya.

"Heh, bukan ne Danu ket wingi takon gawean wae." Habibi mengingatkan yang membuat Ridwan seketika menoleh. Baru beberapa meter mereka meninggalkan Damar.

"Iya, sih. Tapi 'kan Danu emang ngunu ket mbiyen."

Habibi terdiam sesaat. "Ya ura kok. Wes sui ra takon maneh. Iki rak takon neh gara-gara bar weruh Mas e lagi cuci motor kae. Gek ra gelem dijak dolan neh saiki."

Damar yang berjalan searah dengan kedua teman Danu masih bisa mendengarkan ucapan mereka. Lalu menghubungkan dengan kejadian yang terjadi beberapa hari lalu saat lomba. Ah, sepertinya dugaannya benar. Penyakit Danu kumat jika melihatnya bekerja terlalu keras. Seperti dulu saat ibu mereka pergi meninggalkan mereka. Mengatakan tak mau membebani dan merasa tak sehebat dirinya untuk melanjutkan sekolah.

Yah, jika bukan karena dia menemukan bakat dalam hal seni rupa, mungkin adiknya lebih memilih bekerja. Apalagi kemarin juga sempat menyinggung ibu mereka sebagai alasan.

Seraya berjalan pulang, dia memikirkan bagaimana agar adiknya tak keterusan untuk mencari uang.

Sesampai di rumah, Danu yang sudah melupakan masalah beberapa hari langsung menyambut kedatangan Damar. Senyum merekah tersungging di bibirnya. "Mas tadi aku coba bersihin ikannya, tapi malah kena duri." Dia menunjukkan jemarinya yang tertusuk duri. Tak begitu kelihatan karena lampu yang remang.

"Kenapa gak tunggu Mas?"

"Gak pa-pa. Mas pasti wes sayah. Mau sudah tak kasih obat merah kok."

Damar memperhatikan Danu yang beberapa hari sedikit menurut setelah perdebatan terakhir. Bahkan beberapa kali melakukan hal sederhana untuk mengambil hatinya.

Damar masuk, menuju kamar mandi yang hanya disemen untuk mencuci tangan. Lalu duduk, bergabung dengan Danu yang baru saja selesai menggoreng ikan hasil tangkapan dan menyuguhkan padanya.

"Eh, tapi ini masih ada sisiknya, Mas. Mana agak gosong lagi." Danu tertawa kecil melihat hasil kerjanya yang jauh berbeda dengan kakaknya.

"Gak pa-pa. Buat tambahan gizi." Damar mengelus rambut Danu. Masih terlalu cepat bagi mereka untuk makan, jadi hanya duduk bercengkerama. Bercerita apa saja hingga suara adzan Maghrib berkumandang. Barulah mereka menyudahi.

Lalu hari-hari terlewat begitu saja. Tak ada yang mencurigakan dari gerak gerik Danu. Bahkan saat dia meminta bantuan Ridwan juga Habibi untuk memantau jika ada gelagat yang janggal dari adiknya.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang