29

451 50 2
                                    

Damar tertegun melihat Satria tengah mencuci motor pelanggan ketika datang ke pencucian.

"Mas Indra ke mana Mas?"

"Hari ini Indra gak masuk. Nanti kalau kamu kewalahan biar tak bantu. Sudah cepat pakai sepatumu."

Damar bergegas menuruti perintah karena sudah ada satu motor menunggu dicuci. Beruntung semua peralatan sudah dikeluarkan dan pastinya sudah siap digunakan.

Tak lama dia sudah sudah berjibaku dengan pekerjaan. Melakukan hingga tuntas. Baru juga menghempaskan pantat untuk istirahat, motor lain datang seolah tak membiarkannya istirahat. Sedang Satria justru kembali ke ruangan, makan siang. Herannya hari itu, setiap dia selesai mencuci tak lama motor kembali datang. Benar-benar tak memberinya celah untuk bernapas.

Padahal musim panas dan entah mengapa kebanyakan motor yang datang dalam kondisi yang kotor? Apa semua baru saja dari sawah? Atau sudah berminggu-minggu tak tersentuh air?

"Istirahat dulu sana." Akhirnya Satria memberi kesempatan Damar berhenti sejenak. Sekedar duduk atau minum apapun yang disediakan di ruang peralatan.

Damar berjalan dengan gontai menuju ruang peralatan, mengambil segelas air putih dingin yang berada di dispenser. Menggelontorkan haus yang merongrong tenggorokannya di siang yang cukup terik dan berdebu. Diambil kue basah yang juga disediakan untuk mengganjal perutnya yang sudah mulai keroncongan. Tak lupa menghidupkan kipas untuk menghilangkan peluh yang membasahi kaosnya sebelum kembali lagi ke depan. Bersiap menghadapi pekerjaannya. Sebentar saja, karena tak enak hati dengan kelonggaran yang diberikan.

Matahari sudah tenggelam dan Damar baru selesai dengan motor terakhirnya. Setelah menyimpan peralatan, Satria datang mengulurkan pembayaran. Empat puluh ribu rupiah.

"Kok banyak, Mas?"

"Anggap saja bonus. Lagipula sejak tadi kamu juga gak berhenti."

Damar tersenyum, senang. Bukan oleh nominal yang diterimanya, melainkan bagaimana perlakuan Satria yang benar-benar menghargai tenaganya. "Suwun, Mas." Dia menerima dan pamit pulang. Dari jauh sayup-sayup adzan Maghrib sudah berkumandang. Namun, baru melangkah keluar, suara Satria membuat raganya terhenti sesaat.

"Oh, ya. Besok kamu masuk setengah hari, ya. Ini Indra baru sms katanya masuk setelah jam dua belas. Anggap ae lembur. Lagipula kalau pagi gak terlalu banyak yang datang."

Mau menolak segan, tetapi mengingat beberapa minggu ke belakang. Rasanya tak masalah kerja meski hanya setengah hari saja. Adiknya pasti paham. "Nggeh, Mas."

Berhubung Indra tak berangkat, dia harus berjalan kaki menuju desa yang lumayan memakan waktu. Badannya sudah benar-benar lelah, ingin lekas pulang. Namun, sebagai ganti karena telah pulang jauh lebih larut dari biasa, dia mampir membeli bakso untuk adiknya.

"Tumben sampai jam segini?" tanya Pak Danang ketika Damar memesan dua bungkus bakso.

"Iya, tadi teman gak datang, jadi sampai kewalahan." Damar duduk di kursi plastik yang disodorkan padanya seraya menunggu pesanan diracik.

"Tambah ramai ya pencucian ne."

Damar menjawab dengan anggukan. Ah, seketika teringat ucapan Pak Wahyudin yang menganggap kehadiran anak yatim sebagai berkah. Bukan! Memang di daerah itu masih jarang pencucian, jadi lumrah jika ramai. Bukan karena kehadirannya.

Lalu percakapan terjadi begitu saja. Damar hanya menjawab seperlunya. Tak ada guyonan layaknya Danu yang selalu membuat suasana ceria.

"Nih, sudah tak tambahi buat Danu. Biar cepet gede." Lelaki yang berpotongan cepak menyerahkan bakso yang sudah dipesan dan Damar menyodorkan pembayaran.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang