Benar saja, sore harinya Danu menenteng dua ekor ikan gabus. Begitu tiba di rumah, Damar yang penasaran apakah Danu bisa membersihkan sendiri mengikuti ke sumur.
"Mas, aku kok kasihan mau bunuhnya, ya." Danu yang sudah mengambil pisau merasa iba.
"Bisa gak?"
Danu terdiam beberapa saat. "Bisa, bisa." Akhirnya menjawab penuh keyakinan, tetapi saat hendak memegang, ikannya justru bergerak ke sana ke mari. Sontak dia berdiri. Sembari meringis, kepalanya langsung menoleh pada Damar. "Mas saja deh. Gak tega aku."
"Ra sembodo, pecicilan kok ra wani nandhangi iwak." Damar berjalan menuju sumur seraya menahan nyeri. Dia berdiri sesaat, bingung bagaimana memposisikan kakinya. Lalu Danu mengambil kursi ke dapur.
"Sini, Mas."
Damar menurut, membersihkan ikan gabus seukuran tiga jari sembari menahan ngilu di pundak. Sedangkan di dapur, Danu bersiap membuat api dan menyiapkan bumbu. Hanya bawang merah, putih,salam dan cabe yang tumbuh di samping rumah.
Damar yang sudah selesai membersihkan masuk, diikuti Danu yang membawa kursi ke depan tungku.
"Mas saja yang masak, biar enak." Danu seolah mempersilahkan kakaknya duduk.
Damar sudah menduga, adiknya memang hanya sebatas bisa memasak nasi, air juga menggoreng lauk yang gampang.
"Udah diiris semua?" Mengabaikan rasa sakit, Damar tetap menunaikan kewajibannya, memasak. Hanya ditumis seadanya, yang penting ada rasa garam juga micin. Sebentar saja dan Danu dengan sigap memindahkan ke piring. Tak lupa menghidangkan bubur tadi pagi.
"Yang banyak, Mas. Biar cepet sembuh lukanya. Besok tak cariin lagi."
Benar saja, selama hampir seminggu Danu mencari ikan gabus dan Damar terus dijejali untuk makan hingga bosan. Ditumis, dikukus tidak ada yang digoreng dengan alasan biar cepat kering. Setidaknya itu yang dikatakan salah satu ibu temannya.
Namun, herannya Damar juga menurut. Beranggapan apa yang dilakukan Danu adalah suatu bentuk kepedulian juga kasih sayang. Hal itu membuat dirinya semangat untuk cepat sembuh dan kembali bekerja.
Berkat khasiat ikan gabus yang selalu dikatakan Danu berulang, luka Damar kering lebih cepat. Tinggal menunggu hingga terkelupas dengan sendirinya.
Pagi ini, Damar sudah berada di dapur menyiapkan sarapan untuk Danu. Kemarin dia mendatangi rumah Pak Wahyudin yang berada di desa sebelah, mengabari jika sudah sembuh dan siap bekerja. Jawaban yang diterima sesuai harapan.
"Mas kerja dulu, Dan. Jangan lupa bukunya dibalikin, Mas sudah baca semuanya." Damar mengelus puncak kepala Danu yang masih mengantuk.
"Iya, Mas. Hati-hati." Danu melambaikan tangan ketika mengantar Damar ke jalan besar. Setelah kakaknya hilang dari pandangan, barulah dia kembali ke rumah.
Jalanan masih berkabut. Musim bediding belum sepenuhnya pergi. Meski begitu Damar tak memakai jaket untuk menghalau dingin yang menggigit raganya. Berjalan sepanjang jalan Parangtritis menuju Pasar Ngangkruksari, dia bersedekap seraya mengusap lengan.
Meski hari masih terlalu pagi, sudah banyak kendaraan berlalu lalang. Tak lain tujuan ke pasar atau kota. Tak sampai setengah jam dia sudah sampai di los. Dari kejauhan, Pak Wahyudin juga sudah menurunkan barang dagangan dan menata.
"Iki tata dewe, ya." Pak Wahyudin menyerahkan tas punggung dan segera berlalu pergi. Tak ada basa-basi mengingat kemarin sudah bicara panjang lebar di rumah.
Saat menata barang dagangan, ibu-ibu yang pernah datang ke rumah mendekat dan menanyakan apakah memang sudah sehat benar disertai basa-basi yang berujung ghibah. Ah, setidaknya dari mereka dia mendapatkan kasih sayang yang setara dengan ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Brother (Danu dan Damar) Spin Off Arga ; Repihan Rasa
De TodoKisah kakak beradik yang bertahan hidup di tengah kemiskinan. Juga perjuangan sang kakak menjaga dan membahagiakan sang adik. Hidup yang keras, memaksa dirinya dewasa oleh keadaan. "Apa kami minta dilahirkan? Bukankah kalian yang meminta kehadiran k...