14.

532 62 6
                                    

Sebagai seorang kakak, Damar tak tahu harus berbagi dengan siapa tentang rasa sakit juga kekecewaan kecuali menelannya sendiri. Tak mungkin dia mengatakan pada Danu yang belum paham apa-apa. Sahabat? Entahlah, dia tak yakin mempunyai sahabat. Sejak putus sekolah, kehidupannya dengan teman-temannya seolah berada pada koridor yang berbeda. Hanya awal-awal saja masih mau bercanda juga bercerita hingga seiring berjalannya waktu sekedar bertegur sapa.

Sebagai gantinya, dia akan datang ke makam ayahnya hanya untuk menegarkan hati. Mengisi lagi semangat yang sempat redup. Berharap lebih ikhlas untuk menerima jalan kehidupan yang ditakdirkan. Seolah saat duduk di samping gundukan tanah adalah momen mendengarkan nasihat. Walau tak ada ucapan yang ditangkap oleh telinga. Walau raga yang di bawah tanah sudah tak berbentuk. Setidaknya, ada sedikit beban yang berkurang.

Lalu dia akan pulang menemui adiknya. Berharap senyum juga ucapannya mampu membuat dunianya yang sempat gelap gulita menjadi kembali cerah.

"Kok sudah pulang, Mas. Tumben." Danu yang tadinya tengah bercengkerama dengan Mbok Dharma lalu melihat Damar pulang, langsung berlari mendekat. "Jam berapa sekarang?" Begitu membuka pintu rumah dan mendapati baru jam satu, dia menatap heran.

Tahu adiknya menunggu jawaban, Damar terpaksa berbohong. "Iya, Mas 'kan baru habis sakit, jadinya disuruh lebih banyak istirahat."

Danu manggut-manggut paham lalu berjalan menuju dapur. Berniat mengambilkan makan siang.

Merasa jawabannya bisa diterima, Damar bernapas lega. Jangan sampai adiknya tahu tentang apa yang menimpa. Dia duduk di kursi tamu seraya mengipasi tubuhnya yang berkeringat dengan buku. "Gak ada jajan, Dan. Maaf."

"Iya, Mas. Gak pa-pa." Danu muncul dari balik pintu dengan sepiring nasi, tahu goreng dengan orak arik buncis sisa tadi pagi. "Makan, Mas. Nanti sore ke kali, yuk. Mancing. Sekali-kali nemenin aku." Dia meletakkan di meja lalu kembali lagi dengan segelas air putih.

Damar tersenyum menerima pemberian adiknya. Mumpung tak ada yang mau dikerjakan, menuruti permintaan tak ada salahnya. "Sudah makan?"

"Sudah tadi."

Sementara Damar makan, Danu memilih ke belakang rumah, mencari cacing.

"Sekarang saja yuk, Mas," tanya Danu ketika selesai mengumpulkan cacing dan melihat Damar juga sudah selesai makan.

"Masih panas, Dan." Damar beralasan, padahal dia hanya ingin istirahat sebentar. Dia mengambil air putih kedua kalinya dan meneguk di dapur, menghilangkan haus yang tak kunjung menghilang.

"Biar dapat ikan banyak, Mas." Danu meyakinkan. Dia keluar dan mengambil dua buah pancingnya lalu menarik tangan Damar yang tak bisa lagi mengelak.

Begitu pintu dapur tertutup, mereka berjalan di pematang sawah yang baru beberapa minggu dipanen. Sisa batang padi yang menumpuk di beberapa bagian. Ada juga yang sudah dibakar. Ada pula yang diikat, tetapi belum diambil sampai sekarang.

Daun kelapa melambai-lambai ditiup angin yang berembus sepoi-sepoi. Begitu pula anak rambut Danu juga Damar yang mulai memanjang. Saat tiba di tanggul sungai, mereka naik bergantian. Tak lama mereka mencari tempat yang pas untuk melempar kail.

Hampir satu jam Damar menemani Danu memancing. Belum ada satu ikan pun yang berhasil ditangkap. Seolah ikan sudah kenyang dan tak tergoda untuk menyantap hidangan yang disuguhkan mereka berdua.

"Kok belum dapat ikan ya, Mas," protes Danu setelah sekian lama menunggu.

"Ya kamu ngomong terus, ikannya jadi tahu kalau mau dipancing."

Ya, bukannya diam saat memancing. Danu justru sibuk bercerita. Bahkan sesekali mengundang lengkung tipis di bibir Damar. Tak hanya sekali bahkan berkali-kali.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang