part 9

602 53 2
                                    

Siska Handayani, kini tengah duduk bersisian dengan anak lelakinya yang beranjak remaja. Dia menyodorkan air putih kemasan dengan raut yang tak bisa dijelaskan. Dari sorot teduh ada berbagai perasaan yang menyeruak. Kerinduan, rasa bersalah, kesedihan juga kebahagiaan. Namun, entah mana yang lebih mendominasi. Tak kentara.

Damar menerima, tetapi urung membuka. Diletakkan di sisi kirinya lalu pandangan tertuju pada paving blok di bawah. Padahal dia ingin memeluk ibunya ketika berjumpa. Namun kenyataan justru tubuhnya menolak. Ada begitu banyak kerinduan, sayang terkikis oleh kenyataan bahwa mereka sudah berjarak. Tak lagi sama saat bersama.

"Ibu bilang kerja." Damar membuka percakapan.

Mereka duduk di sebuah taman berukuran 13x10 m. Cukup jauh dari rumah ibunya. Hanya berjalan kaki beberapa menit.

Beberapa pohon seperti tabebuya, nusa indah juga beberapa bunga lainnya tumbuh berjajar. Sedang pohon asam jawa menjulang di tengah, menaungi mereka.

Dia tak tahu apa alasan ibunya mengajak duduk di sana. Yang jelas memberi jawaban untuk semua yang terjadi.

"Kamu sudah besar, Mar. Ibu hampir gak mengenalimu."

"Tentu saja. Dua tahun Ibu bahkan gak pulang menemui kami." Biar saja dia berterus terang. Ada kekecewaan yang menganga di hatinya. Tentang kepergian yang seharusnya demi mereka, tetapi justru untuk merengkuh bahagia bersama orang lain.

"Maafkan Ibu, Mar."

Kepala Damar yang tadi tertunduk, kini mendongak. Menatap pohon tabebuya di hadapannya. "Untuk apa Ibu minta maaf? Karena aku menemukan kenyataan jika Ibu menikah lagi dan bukan kerja seperti yang dikatakan dulu?" Ada berbagai rasa yang bercampur aduk dalam dadanya sekarang. Sedih, marah juga kecewa. Hingga wajahnya mengeras dengan tangan terkepal.

"Mar, kamu gak ngerti."

Damar menoleh. "Ya, aku gak ngerti mengapa Ibu gak pernah mengirim kabar. Aku gak ngerti kenapa Ibu gak pulang ke rumah. Aku gak ngerti kenapa Ibu tiba-tiba nikah lagi dan membuang kami begitu saja."

Siska, wanita berparas manis dengan kulit sawo matang tertunduk lesu. Rambutnya dibiarkan tergerai dan tersibak angin sepoi-sepoi.

"Kamu gak paham, Mar."

"Bagian mana yang aku gak paham, Bu?" Intonasi suaranya meninggi. Dia tak peduli meski wanita di sebelahnya adalah wanita yang harus dihormati.

"Ibu membutuhkan lelaki yang bisa melindungi."

Amarah menggelegak di dada Damar. Dia berdiri dengan sorot tak terima yang ditujukan pada ibunya. "Aku juga lelaki, Bu. Aku akan melindungi Ibu juga Danu. Aku akan bekerja keras seperti Bapak. Gak masalah jika aku harus putus sekolah." Deru napasnya yang cepat terdengar.

Wanita dengan bibir merah muda meski tanpa sapuan lipstik mendongak. Melihat sorot kecewa anak lelakinya. Lalu tangan terulur meminta duduk kembali.

Damar tak kuasa menolak. Hanya dengan sentuhan ibunya, hati yang tadi berkobar oleh amarah langsung padam seketika.

"Pulanglah, Bu. Danu menunggu Ibu di rumah. Danu sudah mengumpulkan uang agar Ibu bisa membuka warung kecil-kecilan." Suara Damar melunak. Dipandangi wajah ibunya yang jauh lebih terawat saat bersama mereka. Kulit yang dulu kecoklatan kini sedikit bersih dan cerah.

Sekarang dia tahu mengapa Ibunya menikah lagi. Ya karena memang cantik. Hidungnya yang tak terlalu mancung, tetapi juga tak pesek. Bibir penuh dengan warna alami. Bulu mata juga lentik. Siapapun tak percaya jika ibunya sudah mempunyai anak yang menginjak remaja.

Siska menggeleng, pelan. "Ibu gak bisa, Mar."

Lagi-lagi ucapan ibunya membuat Damar shock. Apa dia tak salah dengar? Ibunya tak bisa pulang. "Apa maksud Ibu?"

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang