Arga melihat jam di pergelangan tangan. Sudah mendekati waktu Dhuhur. Itu berarti sebentar lagi makan siang. Setelah memastikan apa yang dipakainya sudah pas, dia segera memutar tubuh. Keluar kamar.
Menuruni anak tangga, dia mendengar suara Danu dan Damar yang tengah bercengkerama. Ah, rasanya sudah lama sekali rumahnya tak sedemikian ceria juga hangat. Langkahnya semakin cepat. Ingin ikut bergabung.
Begitu menjejak lantai satu, wajah yang tadi berbinar seketika berubah. Dahinya mengerut melihat kedua kakak beradik itu sudah duduk di meja makan menantinya. Namun, ada yang salah.
Menarik kursi, pandangan Arga terus terkunci pada kedua kakak beradik yang mendadak bungkam. Keheningan langsung mengitari atmosfer mereka seolah dia adalah guru bk yang galak. Namun, sebenarnya hanya karena sang kakak yang meminta agar adiknya tak banyak bertingkah.
"Kenapa kalian masih memakai baju itu?" tanya Arga tak bisa lagi menyembunyikan keingintahuannya.
"Oh, baju ini Om." Danu menarik sedikit bagian bajunya, memperlihatkan gambar yang mulai menghilang. Dia tak paham apa yang salah dengan bajunya.
"Bukannya Om sudah belikan. Kenapa gak dipakai?"
Dari arah dapur, Mak Ris membawa menu makan siang. Setelah meletakkan berbagai lauk juga buah, dia kembali lagi dengan minuman jus yang baru dibuat.
"Sayang Om kalau dipakai cuma buat di rumah." Danu angkat bicara.
Arga menyandarkan punggung ke kursi, tak paham dengan kelakuan Damar juga Danu. Sebuah helaan napas kasar keluar dari hidungnya dengan dahi mengerut. Meski begitu, dia mencoba bersabar. "Memang apa salahnya kalau dipakai di rumah?"
"Ya, terlalu bagus Om. Baiknya kalau buat jalan-jalan saja. Nanti ndak malah rusak."
Kekehan kecil keluar dari mulut Arga. Astaga. Dia tak menyangka dengan alasan yang sebenarnya sangat lucu. Bajunya terlalu bagus untuk dipakai di rumah. Lalu apa harus memakai baju ala kadarnya? Seperti emak-emak yang menggunakan daster dengan alasan kenyamanan.
Danu dan Damar saling berpandangan, tak paham mengapa justru tertawa. Bagian mana yang lucu?
"Kalau beli baju 'kan emang dipakai, kenapa harus nunggu jalan-jalan?"
"Kan bajunya mahal, Om. Sayang. Coba dibeliin baju yang kayak punyaku sudah dapat banyak lo." Danu masih saja beralasan seraya melihat kaos yang dipakainya.
Arga membekap mulut, menahan tawa yang hampir meledak. Di antara iba juga lucu.
Beberapa saat Danu dan Damar hanya memandang tak paham hingga Arga menyudahi tawa setelah menghela napas panjang. "Ya, sudah ayo kita jalan-jalan." Padahal itu hanya alasan yang dibuat-buatnya. Sudah seminggu dan tak dilihat mereka memakai baju yang dibelikannya.
"Di rumah saja, Om. Nanti uang Om habis. 'Kan kemarin baru saja beliin baju, tas dan banyak lagi."
Arga yang baru saja mengambil nasi kembali dibuat terkekeh dengan ucapan lugu Danu. Sederhana, tetapi mampu memberinya kebahagian. Ah, dia lupa. Kedua kakak beradik itu tumbuh di lingkungan yang menghargai uang. Bukan seperti dirinya yang mudah saja membuang lembaran kertas demi kebahagiaan sesaat. "Om 'kan kerja. Nanti pasti ada lagi uangnya. Tenang saja."
"Tuh kan Mas. Uang Om banyak. Dibilangin gak percaya. Orang yang mau berbagi itu rejekinya pasti lancar. Ada saja, begitu katanya." Danu langsung menceramahi Damar yang suka memberi batasan padanya. "Mas ini, apa-apa gak boleh. Pakai baju baru gak boleh, makan gak boleh banyak-banyak. Masih lapar kok gak boleh sih."
Damar menendang kaki Danu yang langsung mengaduh kesakitan. Sontak Arga tertawa kecil melihat pertengkaran mereka.
"Makanlah. Habis itu kita pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Brother (Danu dan Damar) Spin Off Arga ; Repihan Rasa
AléatoireKisah kakak beradik yang bertahan hidup di tengah kemiskinan. Juga perjuangan sang kakak menjaga dan membahagiakan sang adik. Hidup yang keras, memaksa dirinya dewasa oleh keadaan. "Apa kami minta dilahirkan? Bukankah kalian yang meminta kehadiran k...