Damar benar-benar tak bisa berpikir lagi. Setelah Arga mengatakan penawarannya dan pergi tanpa jawaban darinya, dia masih terpaku di warung makan. Pikirannya kosong. Kenyataan jika orang yang mati-matian dituduh akan memanfaatkan kini justru memberi cahaya. Sebuah jalan yang dikiranya telah tertutup oleh kemiskinan.
Damar menunduk. Sungguh ironi hidupnya. Orang yang dikiranya baik ternyata bermuka dua, sedang orang disangka sebagai penjahat adalah salah satu tangan Tuhan yang akan membantunya. Lalu senyum kecut tercipta bersamaan dengan salah satu tangan menutupi wajah.
Dia ingin menertawakan dunia. Bukan, tetapi dirinya yang tak bisa melihat dunia. Lalu sekarang dia tak tahu harus melangkah ke mana? Tuhan sudah menggelarkan karpet merah untuknya? Atas kemalangan hidup yang harus dijalani, tetapi kenapa kakinya tak mau menginjaknya? Apakah karena bukan ibunya yang menggandeng untuk jalan bersama?
Seperti yang dikatakan Arga, dia belum bisa melepaskan mimpi untuk berkumpul kembali dengan ibunya. Ya, dia memaksa adiknya untuk menerima kenyataan padahal dirinya sendiri masih saja berharap. Berharap ada keajaiban. Mengapa bukan ibunya saja yang datang? Menawari untuk hidup bersama?
Segala pertanyaan mengendap di kepala dan Damar bangkit menghadapi kenyataan jika seharian belum mendapatkan uang. Perlahan dia berjalan mengitari bibir pantai, menjajakan jualannya.
Sesampai di rumah, dilihat Danu yang langsung menyambut. Bedanya senyum yang biasa lebar, mendadak hilang berganti wajah yang sendu seakan bukan dia yang dinanti.
"Kenapa, Dan?"
"Aku nunggu Om kok gak datang, ya. Aku kangen." Dia berjalan dengan gontai menuju kursi dengan wajah masam.
Damar duduk di samping Danu setelah meletakkan sisa keripik jualan yang akan dikembalikan keesokan hari. "Kenapa kamu menyukai Om Arga?"
"Ya, karena dia baik, pinter lagi. Eh, Mas. Dia cerita kalau pernah dari luar negeri. Ada fotonya juga. Pasti Mas kalau sudah besar sehebat Om Arga."
Damar tersenyum, kecut.
"Apa Om sudah punya pacar ya sekarang, kok gak datang." Danu menghela napas. Ada kesedihan dari nada bicaranya. Sedang Damar masih bungkam. Tak mungkin dia mengatakan untuk sekarang penawaran yang diberikan padanya. "Tapi gak pa-pa sih kalau Om sudah punya pacar, daripada kesepian, cuma aku jadi kesepian deh." Dia masih saja bermonolog menegarkan dirinya.
"Kesepian?" Damar memastikan tak salah dengar.
"Iya, Adik juga ibunya sudah meninggal. Padahal rumahnya besar, bagus lagi, tapi dia bilang lebih suka rumah kita. Hangat katanya." Danu tertawa mengingat perbincangan dengan Arga. "Aneh ya, Mas. Sudah jelas hangat rumah Om Arga, gak ada lubangnya kayak rumah kita. Selimutnya juga pasti tebal kok bilang gak hangat. Apa karena pakai AC ya, jadi bilang kedinginan."
Sampai di sini Damar masih belum paham. Mengapa Arga tak mencari wanita untuk dinikahi daripada memintanya menjadi anak asuh dan tinggal bersama? Apakah memang benar alasan karena adiknya dulu menginginkan sekolah sehingga memberinya kesempatan yang sama sebagai gantinya? Entahlah. Kepalanya sekarang pusing.
Lalu hari berganti. Arga masih saja datang ke rumah meski masih belum ada jawaban yang diberikan. Damar sendiri belum membicarakan dengan Danu. Kebimbangan masih menyelimuti dirinya.
"Apa yang membuatmu lama mengambil keputusan?" tanya Arga saat meminta Damar menemani menuju mobil.
Danu yang tak paham, hanya diam. Sesekali memperhatikan wajah Arga juga Damar bergantian.
"Jangan-jangan kamu juga belum mengatakan pada Danu?"
Mendengar namanya disebut Danu menengok ke arah Arga lalu bergantian pada kakaknya. Penasaran. "Bilang apa, Om?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Brother (Danu dan Damar) Spin Off Arga ; Repihan Rasa
DiversosKisah kakak beradik yang bertahan hidup di tengah kemiskinan. Juga perjuangan sang kakak menjaga dan membahagiakan sang adik. Hidup yang keras, memaksa dirinya dewasa oleh keadaan. "Apa kami minta dilahirkan? Bukankah kalian yang meminta kehadiran k...