Chapter 19: Voice of the Sky

1.4K 41 5
                                    

Yuka’s POV

 

Hari-hari telah berlalu dan aku sudah bisa menerima apa yang sebenarnya telah terjadi. Semua yang telah terjadi. Dan Niall… Dia pergi. Dia benar-benar pergi. Aku masih saja terus menolak apa yang sebenarnya terjadi. Aku masih selalu percaya bahwa itu semua hanya sebuah realita belaka. Hanya sebuah mimpi burukku. Mimpi buruk. Ya, itulah yang selalu aku harapkan.

Aku masih ingat ketika tubuhnya menghilang perlahan seperti pasir yang ditiup angin tepat di depanku. Tepat di depan kedua mataku. Tubuhnya menghilang ketika dia memberikan senyumnya padaku. Senyum yang sangat indah miliknya. Seketika cahaya memenuhi kedua bola mataku dan semuanya kembali menjadi gelap. Aku tertidur di dalam mimpi yang tidak pernah ingin aku wujudkan kembali.

            Lonceng gereja berbunyi nyaring diikuti oleh rasa sedih yang mendalam. Hari ini adalah pemakamannya. Aku berada di dalam gereja dengan pakaian serba hitam. Semuanya berada di sini. Aku, Harry, semua sahabatmu, keluargamu, dan orang-orang yang kau kenal. Kau lihat, Niall? Tidak ada orang yang tertawa akan kematianmu. Mereka semua sehati. Mereka tidak rela kau pergi. Mereka menangisi kepergianmu!

Aku ingin menangis sekencang mungkin. Tetapi aku berusaha menahannya. Aku ingin berteriak hingga seluruh dunia tahu. Tetapi apa daya, aku bukan seseorang yang sekuat itu. Apa dayaku? Aku bukan dewa! Aku bukan Tuhan!

Kakiku terhenti di depan sebuah kotak kayu besar yang terbuka lebar. Aku berdiri di sebelah peti di mana Niall ditidurkan. Aku melihat tubuhnya terbaring dengan pucat di dalam peti mati ini. Tubuhnya dibalut dengan sebuah jas hitam yang dipasangkan setelah sebuah kemeja putih polos menyelimutinya. Kelopak-kelopak mawar merah menghiasi sekeliling tubuhnya. Kulihat wajahnya. Dapat kulihat dia tersenyum bahagia. Aku ingat senyuman itu yang dia buat ketika dia sedang senang, ketika dia tertawa, ketika dia tertidur di tempat tidurnya. Aku tidak bisa menahannya lagi. Air mata turun di kedua pipiku. Kucoba untuk menghapusnya tetapi tetaplah sia-sia. Air mataku tetap turun deras walaupun aku terus mencoba menahannya.

“Yuka, kami minta maaf…” Zayn menepuk pundakku berusaha menenangkanku. Aku hanya mengangguk dan terus menangis. “Ayo, pemakaman akan segera dimulai. Kursimu ada di sebelah sana.”

            Aku duduk di kursi yang telah disiapkan. Pendeta mulai membuka upacara pemakan ini dengan menceritakan apa itu arti hidup – suatu saat semua orang akan pergi dan kematian bukanlah hal yang perlu ditakutkan. Karena kita akan bertemu Tuhan dan akan berada di tempat yang lebih baik dari dunia ini. Aku hanya bisa mendengar setiap kata yang diucapkan pendeta itu. Dan itu semua membuatku kembali menitikan air mataku. Tak lama, pendeta telah selesai memberikan sambutannya. Kini gilaranku naik ke mimbar.

“Selamat sore semuanya. Kita berkumpul di sini saat ini untuk mengantar seseorang yang sangat kita cintai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku akan memberitahu semua yang aku aku tahu tentang dia. Dia seperti malaikat, senyumnya memberikan kebahagiaan. Ketika air mata jatuh ke pipinya, kita dapat melihat kesedihan yang dia rasakan. Ketika dia tertawa, dia memberikan kita suatu hal yang menyamankan hati. Dia…” aku tidak bisa menahan tangisku. Perlahan-lahan aku mulai merasa semakin dan semakin lemas. Aku ingat. Dia sudah pergi. Meninggalkan dunia ini. Jarak antara kami tidak akan bisa terhitung. Aku melanjutkan sambutanku dengan isak tangis. Ketika aku menyelesaikannya, aku kembali duduk di kursiku, menangis.

            Setiap dentangan jam besar terus membuat suasana semakin buruk di dadaku. Aku ingin segera pergi dari tempat ini. Berlari melawan arus jalanan, masuk ke dalam kamarku, mengunci pintuku dengan rapat, dan berteriak sekuat yang aku bisa di balik bantal tidurku. Tapi apa gunanya aku menangis? Untuk apa aku menangisi seseorang yang tidak akan pernah bisa kembali lagi ke dunia ini? Itu semua sia-sia!

Voice of The SkyWhere stories live. Discover now