Tujuh Belas

3 3 0
                                    

Disaat Adit sedang mengobrol bersama Jiwa, di belakang sana ada Raga yang sedang diam sambil mendengarkan musik. Raga melihat Adit ketika sedang berbicara dengan Jiwa. Dia memperhatikan mereka berdua secara sekilas.

Ngapain sih anak itu datang ke sini? Abis gua cuekin langsung alih haluan ke Adit. Cih -batin Raga.

Tak lama setelah Adit mengobrol dengan Jiwa, dia pun menghampiri Raga yang sedang duduk di kursi belakang.

"Woy, ke kantin yok!", ajak Adit.

"Mau ngapain?"

"Mau main karambol."

"Gila lu main karambol di kantin."

"Lu yang gila. Ya lu mikir ke kantin mau ngapain."

Adit yang sedikit emosi pun hanya bisa menonjok pelan lengan Raga.

"Lagi mager gua."

"Kek cewek lu."

"Kalo gua cewek lu mau apa?"

"Mau gue kasih ke sugar daddy."

Sungguh, berteman dengan Raga adalah hal yang dapat menguras emosi Adit. Entah temannya ini memang benar-benar menyebalkan atau moodnya sedang kacau layaknya seorang perempuan.

"Kurang ajar lu."

"Abisnya lu yang mancing, nyet."

"Yeyeyeyeye, nyet."

Raga selalu saja bertindak seperti ini saat Adit sudah mulai emosi dan berubah menjadi cerewet.

"Eh tadi Jiwa dateng ke sini tuh."

"Tau."

"Kok tau? Ngintip lu?"

"Ya lu mikir, lu ngobrol di deket pintu gimana gua ga liat?"

Raga kini menunjukkan wajahnya yang sudah mulai lelah dengan Adit. Seharusnya Adit yang menunjukkan wajah lelahnya karena sikap Raga. Sungguh pertemanan yang aneh.

"Kalem bro."

"Dia tadi ngomongin lu."

"Ga peduli."

"Eh diem dulu", ucap Adit sambil mencomot mulut Raga.

Setelah Raga mulai diam, Adit melepaskan tangannya dari mulut Raga kemudian dia melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong.

Tangan Adit bau dosa -batin Raga.

Raga menaikkan sebelah alisnya sebagai tanda bertanya pada Adit.

"Tadi dia nanya ke gua, lu jomblo apa engga."

"Terus gua peduli?"

"Diem dulu tuh mulut."

"Ya udah, terus lu bilang apa?"

"Gua jawab kalo lu jomblo."

"Kok lu malah bilang gua jomblo sih?"

"Kan emang lu jomblo. Kenapa? Ga terima kah?"

Jari tangan Raga mulai ingin mencekik Adit karena ucapannya yang asal.

"Ya udah, lanjut."

"Lu tau ga alesan dia nanya gitu?"

"Ga."

"Katanya waktu itu dia liat lu sama Fiona. Emang bener lu ketemu lagi sama Fiona?"

Raga berpikir sejenak mengingat kapan waktu terakhir dia bertemu dengan Fiona. Ah, dia mengingatnya. Dia terakhir bertemu dengan Fiona yaitu minggu lalu di perpustakaan sekolah. Tunggu, mengapa Jiwa tahu bahwa Raga bertemu dengan Fiona? Apakah dia melihatnya?

"Iya, gue ketemu sama dia di perpus."

"Pantesan dia nanya. Jiwa kayanya suka sama lu deh."

"Kok lu mikir gitu?"

"Ya kalo ga suka ngapain juga dia dateng ke sini buat nanya hal sepele kaya gitu."

"Terus?"

"Lu suka juga sama Jiwa ga?"

"Engga."

Jawaban yang singkat dan tidak berdosa yang keluar dari mulut Raga.

"Kok bisa?"

"Lu kan tau gua sukanya sama siapa."

"Tapi lu ga mau coba buka hati lu buat Jiwa?"

"Ga, gua maunya Freya."

"Ga ikutan deh kalo masalah Freya."

Adit hanya bisa bungkam jika temannya ini sudah menyebut satu nama, yaitu 'Freya'. Tunggu, siapakah Freya? Apakah kalian mengenalnya? Lalu apa hubungannya dengan Raga?

"Makanya lu ga usah ngatur."

"Iya deh si paling ga bisa move on."

"Emang."

"Dih, jujur lagi. Bucin."

"Biarin."

Entah kenapa sifat Raga di mata Adit sekarang terlihat menyebalkan layaknya anak kecil. Adit tak bisa berkata dan berbuat apa-apa terhadap Raga apabila menyangkut Freya. Adit masih ingin hidup dengan tenang tanpa diamuk oleh Raga.

JIWA RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang