Tiga Belas

10 1 0
                                    

Senin pagi mulai menyapa Jiwa dan teman-temannya. Entah sejak kapan waktu berputar terlalu cepat. Baru saja kemarin mereka libur, hari ini mereka harus masuk kembali ke sekolah dan mengikuti upacara bendera. Hari ini matahari bersinar dengan cerah sehingga membuat Jiwa, Aiyla, dan Sasa mencari tempat baris yang cukup teduh untuk mereka tempati.

"Kita baris disini aja yu, biar ga terlalu panas", saran Jiwa sesaat setelah melihat tempat yang cukup teduh.

"Ayo! Gue di depan kalian ya", jawab Aiyla.

"Gue di belakang Aiyla, lo paling ujung ya Wa biar ga kepanasan", ucap Sasa.

"Iya, makasih ya kalian udah mau berkorban buat gue."

Jiwa berakting seolah-olah terharu dengan ucapan teman-temannya. Dia mengelap ujung matanya dengan jari-jari cantiknya. Dia hanya mengelap ujung matanya walaupun tak ada air mata yang menetes di sana.

"Lebay banget lo kaya sama siapa aja", ledek Aiyla.

"Iya, lebay banget sih lo. Jijik gue liatnya tau", kini Sasa yang bersuara.

Setelah drama Jiwa dan ucapan menusuk Sasa dan Aiyla, akhirnya mereka bertiga berbaris dengan rapi. Tanpa disengaja, Raga baris tepat di samping Jiwa. Jiwa yang sadar akan kehadiran Raga pun menoleh dan memberanikan diri untuk menyapanya.

"Halo kak, kita ketemu lagi."

"Oh, iya", Raga tak bisa menyapa Jiwa kembali.

"Jangan-jangan kita jodoh kak."

"Maksud lu?"

Raga sebenarnya sudah tahu apa yang Jiwa pikirkan, tetapi dia mencoba tenang seolah tak tahu apa-apa. Raga tahu betul dengan apa yang Jiwa pikirkan karena mereka bertemu secara terus menerus sehingga membuat Raga paham akan pola pikir adik kelasnya ini.

"Iya kan kita ketemu terus."

"Ga usah kepedean."

"Hehe, berharap boleh kan?"

"Ga."

"Nama lu siapa deh?"

Jiwa hanya bisa membuang napas kasar, dia tidak habis pikir dengan laki-laki yang berada di depannya ini. Bagaimana mungkin Raga terus lupa akan namanya sementara mereka bertemu hampir setiap hari. Sepertinya Jiwa harus terus menerus memperkenalkan diri saat ingin berbicara dengan Raga, kakak kelasnya yang satu ini cukup membuat dia lelah.

"Jiwa, kenapa kak?"

"Gapapa, abisnya lu muncul terus."

"Tuh berarti kita jodoh kak."

"Ga."

"Loh kenapa, kak?"

"Apa yang lu harepin dari gua."

"Berharap jadi pacar kakak."

"Ga usah terlalu berharap sama gua."

Bukannya ucapan manis yang Raga ucapkan, justru kalimat-kalimat penolakan yang Jiwa dapatkan selama ini. Cukup sulit memang meluluhkan hati seorang Raga Cakara Evren.

"Kenapa ga boleh mulu sih, kak?"

"Ya emang ga boleh."

"Kalo misalnya aku suka gimana, kak? Apa kakak bakal bales perasaan aku?"

"Ga usah suka sama gua."

Perdebatan kecil mulai timbul diantara mereka. Perdebatan antara kesungguhan hati Jiwa yang menyukai Raga dengan penolakan keras dari Raga atas perasaan Jiwa.

"Kenapa?"

"Toh nanti juga gua bakal ninggalin lu."

Jiwa hanya bisa diam, dia berusaha mencerna ucapan Raga barusan. Jujur Jiwa tak mengerti apa yang baru saja Raga ucapkan. Meninggalkan dia katanya? Haaa... Sungguh itu membuat Jiwa bingung.

Tunggu ya kak, tunggu sampe aku dapetin hati kakak. -batin Jiwa.

Sekarang upacara bendera pun sudah dimulai, itu membuat pikiran Jiwa buyar seketika. Kesadaran Jiwa akhirnya kembali. Walaupun dia belum menemukan maksud dari ucapan Raga, setidaknya dia hanya bisa berusaha agar Raga bisa membalas perasaannya. Dia tak akan menyerah begitu saja walau sudah menerima penolakan dari Raga sebelum Jiwa mulai berusaha.

JIWA RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang