01. The new beginning

637 32 2
                                    

Jangan lupa
Vote
Komen
Dan follow

~Awal Yang Baru~

***

Ting

"Baru balik kuliah Div?" Tanya seorang cowok yang tengah membawa buku menu di tangannya.

Cowok berperawakan tinggi dan berkulir sawo matang itu berjalan beriringan dengan Diva yang baru saja masuk ke Cafe Lavalia. Dengan terburu-buru Diva mengangguk dan menyimpan barangnya di loker punyanya.

"Padahal balik dulu gapapa Div, Bos kita juga ga pernah kesini jadi aman-aman aja kalau lo telat sepuluh menit," Ucapnya kala melihat Diva terburu-buru bahkan langsung mengambil kopi untuk ia buat.

Diva terkekeh melihat teman kerjanya ini. "Kerja di orang jangan semena-mena, Gus."

Bagus, nama cowok itu. Memiliki hidung mancung kecil dengan bibir tebal serta gigi gingsul membuat siapa saja menyukai cowok itu termasuk teman kerjanya yang bernama Fera.

Bagus mengangguk. "Tapi sekali-kali gapapa Div. Lo juga gapernah telat kalau masuk kerja. Pasti di toleransi lah sama Boss."

Diva yang sedang sibuk membuat kopi tanpa menoleh ke lawan bicara ia berkata. "Menurut gue kerja di orang itu harus simbiosis mutualisme, harus sama-sama untung. Gue dapet gaji yang lumayan di tambah dapat makan gratis terus bonusan juga kan. Nah sebagai balasannya gue harus ngasih tenaga gue buat nih Cafe Lavalia."

"Nah. Betul juga nih, calon Dokter Gigi," Balas Bagus menyetujui ucapan Diva.

"Si Bagus mana ngerti yang di omongin lo Div. Dia aja sering telat masuk kerja," Sahut seorang gadis yang tak sengaja mendengar obrolan Diva dan Bagus. Wajah kecil serta badan mungil itu membuat siapa saja merasa gemas kala melihat Fera.

"Kurcaci satu ini maen samber aja kaya petir," Sinis Bagus kepada Fera. Kurcaci adalah sebutan dari Bagus untuk Fera, walau Bagus tak tahu bahwa cewek yang sering ia sebut Kurcaci itu ternyata menyukainya sejak lama, hanya Diva saja yang tahu.

Diva tertawa kala mendengar balasan Fera yang mengerutu. "Ini pesanan kopi untuk meja No 13."

Dengan lirikan judes kepada Bagus. Fera mengambil nampan yang di atasnya terdapat kopi yang Diva sebutkan tadi. Bagus hanya acuh saat Fera memaki dirinya toh kalau di lawan ia tak akan menang karna ia mencobanya.

"Fera cantik kan Gus?" Tanya Diva menggoda.

"Cantik sih, tapi cantikan lo. Dia kaya nenek sihir kerjaannya marah-marah mulu buat pala gue jadi pusing," Jawab Bagus dengan nada kesal.

Diva hanya tertawa pelan dengan mata yang mengarah ke Fera. "Jangan gitu. Jodoh tau rasa lo."

Bagus bergedik ngeri. "Hih amit-amit."

Diva tertawa kembali. "Bukan amit-amit tapi Aamiin-Aamiin."

Bagis menoleh dengan wajah cemberut. "Awas yah Diva gue ga mau lagi teraktir lo."

Diva menghentikan tawanya tangannya mengusap lengan cowok itu seraya menenangkan walau ia tahu Bagus hanya bercanda kepadanya. "Hehe maaf maaf. Gue bercanda."

***

Diva merenggangkan kedua tangannya, matanya lirik arloji yang berada di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan Pukul 23.30 membuat ia segera keluar dari Cafe Lavalia tempat kerjanya untuk pulang kerumahnya.

Sebenarnya Cafe tempat ia kerja tutup sekitar jam sebelas malam karna ia harus closingan dan membersihkan tempat meja akhirnya ia bisa pulang jam 23.30.

"Gue duluan ya Ra," Kata Diva kepada Fera dan hanya di angguki oleh cewek itu.

Dengan mengendarai sepeda motor, ia perlahan menuju rumah walau sepanjang jalan hanya ada beberapa motor dan mobil yang berlalu lalang. Diva mengendarai dengan kecepatan sedang menikmati angin malam yang dingin sangat berbeda saat siang hari.

Sudah hampir dua tahun ia seperti ini. Maksudnya, pagi pergi kuliah hingga siang, sorenya langsung kerja hingga malam kadang malamnya ia buat untuk membuat tugas kuliahnya. Walaupun capek ia harus tetap semangat.

Kadang ia berniat untuk risen dari tempat kerjanya karna terlalu cape terlebih kuliah kedokteran gigi tak segampang yang dilihat. Ia juga harus membeli beberapa barang untuk prakteknya dan tentunya sangat mahal hingga akhirnya ia tak jadi risen walau ia bersyukur biaya kuliahnya sudah di bayar oleh sang Papa hingga selesai.

Dan ia juga sangat bersyukur saat mempunyai pekerjaan yang membuat ia mempunyai banyak pengalaman terlebih mempunyai teman yang baik seperti Fera dan Bagas. Tentu nya dengan Boss yang baik juga, kadang mereka dapat bonusan jika Cafe Lavalia ramai dari pagi hingga malam, di beri makan nasi box setiap hari. Walau Diva tak pernah melihat Bossnya hanya Manager cafe itu saja yang datang itupun sesekali.

Sampai di depan rumahnya ia memikirkan motornya. Rumah sederhana yang hanya bisa di huni oleh dirinya sendiri. Rumah kecil dengan halaman kecil pula, terdapat satu kamar untuk dirinya, ruang tamu yang kecil, dapur serta toilet mirip seperti kosan.

Walau begitu ia sangat bersyukur masih bisa tinggal di rumah yang nyaman, bahkan tetangga sebelahnya begitu baik kepadanya, memberi makan atau camilan untuk dirinya. Tapi konon katanya tetangganya itu mantan preman yang di segani banyak orang terlihat dari tatto yang di setiap badannya.

Diva tak peduli dengan itu kadang ia juga merasa takut akan tetapi ketakutannya berangsur menghilang setiap harinya terlebih Istri dari tetangganya itu juga sangat baik kepada dirinya. Tante Mina dan Om Sanu namanya terkadang ia juga sering melihat teman-temannya Om Sanu yang sama seperti Om Sanu memiliki tatto di setiap tubuhnya dengan badan yang bongsor-bongsor.

Diva memasuki rumah sederhananya. Dulu ia tinggal di rumah yang mewah, ber-Ac, kamar yang luas yang di dekor semaunya, makan tinggal makan tanpa memikirkan uang, kendaraan berjejer tapi sekarang ia hanya mempunyai rumah ini serta satu motor butut yang ia beli dari uang tabungannya.

"Assalamualaikum,"

Diva menutup pintu tak lupa menguncinya. Kakinya melangkah lurus dan berhenti di dinding yang sudah ada foto kedua orangtuanya. Di tatapnya dengan lamat, kenapa rasa sesak itu masih ada padahal ia sudah berusaha ikhlas, mengapa tenggorokan nya tercekat saat ia menahan tangis.

Sudah dua tahun ia setiap hari begini, sehabis pulang dari luar rumah ia selalu menatap lekat foto kedua orangtuanya yang menggantung di dinding. Tanpa terasa air matanya lolos begitu saja.

"Cengeng banget sih lo Div. Ini udah hampir dua tahun. Ayok ikhlas," Lirihnya menghapus air matanya dengan kasar.

Diva menghela nafasnya. "Perjalanan lo masih panjang. Ayok semangat!"

***

ADIVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang