09. The Past Is Revealed

340 9 2
                                    

Jangan lupa

vote, komen 

dan follow 

~Masa lalu terungkap~

***

"Pesanan atas nama kak Mutia," Diva memberikan pesanan tersebut dengan senyum lebar.

Cewek dengan jepitan yang terpasang di rambutnya membuatnya menjadi bekali-kali lipat cantik, dengan celana jeans putih dipadukan dengan kemeja biru muda.

Diva menghela nafasnya saat matanya melihat seluruh meja terisi penuh maklum saja hari ini adalah malam minggu.

"Nih Div satu lagi, setelah ini lo boleh pulang shiff lo udah abis," kata Bagus memberikan nampan makanan serta minuman untuk pelanggan.

"Meja No.15 ya Div."

Diva menerima seraya mengangguk. Cewek itu melangkah cepat untuk memberikan pesanan pelanggan, ia juga ingin segera pulang karena badannya sudah pegal ingin istirahat.

"Atas nama Zo-"

Prang

Ucapan Diva terhenti saat melihat Piring serta gelas yang Diva bawa tumpah berceceran di lantai dengan serbuk-serbuk pecahan gelas dan piring bertebaran disekeliling Diva.

Saat Diva akan menyimpan piring di Meja, cewek yang berada di samping Diva tak sengaja bangun dari duduknya dan menyenggol nampan yang Diva bawa alhasil semua makanan yang cewek itu bawa tumpah semuanya.

Diva melotot saat melihat baju cewek tadi. Ada noda minuman yang tumpah dengan cepat ia mengambil tissue di meja. "Maaf, maafin saya kak."

Cewek itu tak menjawab ucapan Diva, raut wajahnya menandakan kekesalan di tambah dengan gerutuan yang keluar dari mulutnya membuat Diva menenjadi tak enak.

"Maaf kak, Ma-" ucapan Diva terhenti kala cewek itu menepis tangannya untuk membersihkan noda itu hingga tissuenya terlempar jauh.

"Maaf lo ga bisa bikin baju gue bersih kembali," sinisnya seraya menatap Diva tajam.

Diva berkedip beberapa kali kalau-kalau ia salah melihat. cewek itu adalah pacar Al kalau tidak salah namanya Zola. 

Diva jadi teringat kemarin malam saat ia bersama Jefri kemudian Al datang dan memaksanya untuk ikut dengan cowok itu. akan tetapi tiba-tiba saja penyakitnya kambuh membuat ia pingsan. saat pertama kali membuka mata wajah Jefri dan Mamanya.

"KALAU GABISA KERJA GAUSAH KERJA BODOH!" maki Zola kedua teman cewek itu berusaha menenangkan Zola.

Diva terkejut atas makian Zola. "Maafin saya."

Semua orang memperhatin Diva dan Zola maklum saja teriakan Zola sangat kencang terlebih suara pecahan gelas membuat mereka menjadi bahan tontonan semua orang.

"Div kenapa?" tanya Bagus yang baru saja datang melihat kekacauan.

Diva menoleh. "Gue ga sengaja tumpahin pesanan."

Zola melihat Bagus. "Lo atasanya?! bilang sama pegawai lo kalau ga becus kerja jangan kerja. Lo pikir baju ini ga mahal!!!"

Bagus memperhatikan baju Zola yang ada noda kotornya. "Maafin rekan kerja saya. Saya akan mengganti baju anda."

Bagus memberikan kertas dan pulpen pada Zola. "Tulis nomor rekening anda dan nominal harga baju yang anda kenakan sekarang."

Dengan kesal Zola merebut kertas tersebut dan menulisnya dengan cepat setelahnya cewek itu pergi ke toilet. Akan tetapi saat ia di samping Diva ia berbisik ke telinga cewek itu.

"Pembunuh!!!"

Diva mematung, ia tahu mengapa Zola berbicara seperti itu terlebih Zola pacar Al dan ia yakin jika cowok itu bercerita mengenai masalah ini.  

Diva mengepalkan tangannya dengan erat, nafasnya memburu dengan mata yang memerah. Sial jangan sampai penyakitnya kambuh kembali.

Diva mengatur nafasnya yang memburu, matanya tak sengaja melihat orang yang memegang pisau roti. Dengan perasaan yang takut pikirannya langsung terbayang dua tahun lalu.

Diva tertegun mendengar cerita Ansel, saat ini mereka tengah di taman belakang sekolah. Ansel memintanya untuk menemui cowok itu sendirian.

Hal besar yang baru saja Diva tau tentang Al dan Ansel. Entahlah cowok itu malah membuka rahasia yang bahkan Ansel tutup-tutupin dari semua orang.

Sebuah rahasia besar yang bahkan Diva bayangkan saja tidak kuat. "Lo kuat Sel. Kalau gue ada di posisi lo, gue udah mati lebih dulu."

Ansel tertawa pelan. "Gue masih punya Afga yang harus gue jaga. Gue bisa aja mati sekarang tapi gue ga bisa ninggalin Afga sendirian di dunia yang kejam ini." 

"Dia pasti udah gede ya sekarang. Gue belum liat lagi Afga," Kata Diva, ia teringat saat terakhir bertemu Afga waktu ia masih duduk di bangku SMP.

"Dia juga sama kaya gue. Bedanya, dia ga se-kuat yang gue punya."

Diva menoleh ke arah Ansel. Jika di lihat lebih dekat, Mata cowok itu sangat lelah terbukti kantung matanya yang sedikit besar. Diva tak bisa membayangkan gimana rasanya Ansel menghadapi semuanya sendirian.

"Gue boleh peluk lo?" Tanya Ansel pada Diva.

Dahi cewek itu mengerut tanda kebingungan sebab tak biasanya Ansel ingin memeluk dirinya. Ansel yang paham dengan isi pikiran Diva akhirnya berucap kembali.

"Itung-itung rasa rindu gue ke Bella terobati saat peluk lo," Katanya membuat Diva mengangguk.

Ansel berdiri di ikuti dengan Diva. Cowok itu memeluk Diva, cewek yang di jaga oleh Al ini ternyata banyak sekali beban yang di pikul, banyak sekali yang cewek itu di sembunyikan.

Diva hanya mematung tanpa membalas pelukan Ansel, ia tak bisa membalas pelukan Ansel walau Ansel hanya menganggap itu pelukkan Bella tetap saja hatinya mengganjal tak enak pada Bella.

"Setelah ini, jangan pernah nyesal, jangan pernah nyalahin diri lo sendiri, jangan pernah dengerin omongan orang lain termasuk temen-temen lo. Lo harus bangkit dengan kaki lo sendiri, jangan pikirin gue."

Diva tak mengerti apa yang Ansel ucapkan, ia hanya mengangguk saja. Ansel tersenyum miring saat melihat orang yang memakai Hoodie dengan kepala menggunakan topi dan memakai masker tengah berjalan ke arah Diva.

Seseorang itu terus mendekat dengan berlari cepat pada Diva, dengan tangan yang memegang pisau tajam yang siap menusuk punggung Diva.

"Jangan pernah nyalahin diri sendiri atas apa yang terjadi sama gue," Hingga tiga langkah lagi Ansel memutar tubuh Diva dengan tubuh Dirinya.

Pisau yang siap nusuk Diva kini berpindah menusuk Ansel, seseorang itu langsung pergi dari tempat. Cairan berwarna merah mulai merembes dari punggung Ansel hingga tangan Diva yang berusaha menopang tubuh Ansel kini sudah berlumuran darah.

"A-Ansel..." Liriknya saat mendengar ringisan Ansel.

Rasa perih serta sakit sangat terasa di punggung Ansel terlebih pisaunya masih tertancap di punggung nya, nafasnya memburu dengan mata yang memerah nangis.

Ansel berusaha membuka matanya, ia tak ingin Diva menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi padanya. Ansel memang sengaja menukar tubuhnya dengan Diva, ia tak ingin Al melihat Diva berlumuran darah untuk kedua kalinya, ia tak ingin melihat Al prustasi kembali mau bagaimanapun Al dan keluarganya sudah banyak membantunya selama ia hidup.

"J-jangan salahin diri lo sendiri. G-gue m-mohon," Lirih Ansel di telinga Diva setelahnya tubuh cowok itu meluruh dengan teriakan Diva dan murid-murid mulai mendekati Diva.

***

ADIVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang