Chapter 4

716 57 2
                                    


Enam tahun kemudian...

"Tadaima," ucap Shinichi saat baru pulang kerja sore itu.

"Ah, syukurlah kau sudah pulang Shin-Chan," sambut Yukiko.

"Kenapa memangnya?" tanya Shinichi melihat raut wajah cemas ibunya.

"Itu Ai-Chan. Dari pulang sekolah mengurung diri terus di kamar, wajahnya cemberut. Tidak mau makan lagi," keluh Yukiko.

"Eh? Kenapa ya?"

"Yah kenapa lagi memangnya? Lusa itu Hari Ibu, sekolah mengadakan acara. Anak-anak akan memasak bersama ibunya,"

"Ya aku kan bisa pergi atau Okasan juga bisa,"

"Ya gimana, dia maunya sama ibunya. Ai itu cerdas, semakin besar dia semakin peka. Wajar saja kalau dia jadi terbawa perasaan. Waktu kecil dia belum mengerti, jadi oke-oke saja kalau Okasan atau kau yang datang," jelas Yukiko panjang lebar.

Shinichi menghela napas seraya membuka dasi dan jasnya, "ya sudah, biar aku coba bicara dulu padanya,"

Shinichi pun naik ke lantai atas untuk menemui putrinya. Ia mengetuk pintu tiga kali sebelum membuka dan membuat sedikit celah.

"Ai-Chan? Boleh Otosan masuk?" tanya Shinichi.

"Iya," sahut Ai.

Shinichi masuk dan menutup pintu di belakangnya. Selera Ai hampir sama dengan Shiho, kamarnya serba pink. Saat Shinichi menghampiri putrinya dan duduk di tepi ranjangnya, ia melihat anak itu sedang memeluk bingkai foto Shiho.

"Mau cerita?" tanya Shinichi.

"Ai tak mau sekolah lagi," ucap Ai gemetar.

"Kenapa?"

"Teman-teman ngejek Ai terus,"

"Oh ya? Mereka mengejek Ai apa?"

"Katanya Ai tak punya mama," air mata Ai berlinangan.

"Siapa bilang? Ai kan punya mama, mama Shiho,"

'Tapi kan Mama Shiho sudah tidak ada," Ai sudah menangis sekarang.

Shinichi beringsut memeluk putrinya. Membiarkannya nangis sesaat.

"Ai kangen Okasan..." isak Ai.

Shinichi mengecup putrinya, lalu ia meraih bingkai foto Shiho, "lihat ini, Okasan mirip kan sama Ai?"

"Uhm," Ai mengangguk.

"Tandanya Okasan selalu bersama Ai, bersama kita. Hanya saja wujudnya berbeda. Okasan sudah jadi malaikat di atas sana. Okasan selalu mengawasi Ai dan kita berdua,"

"Tapi Ai mau Okasan..."

"Gomene Ai... Andai Otosan bisa... Tapi Ai harus belajar... Tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan..."

"Kenapa? Kenapa yang lain bisa punya Mama tapi Ai tidak bisa?"

"Ai... Setiap orang berbeda-beda. Ada yang punya orang tua lengkap, ada yang tidak. Walaupun Ai tidak punya Okasan, tapi Ai masih punya Otosan, Oba-chan dan Ojiichan. Sementara di luar sana ada anak yang benar-benar tidak punya siapa-siapa lagi..."

Ai tidak menyahut lagi, hanya bisa menangis sesenggukan. Shinichi mengusap air mata itu dari wajah tembamnya.

"Begini saja, Otosan akan bicara pada Sensei supaya teman-teman jangan begitu lagi, karena mengejek orang itu tidak baik. Tapi Ai jangan berhenti sekolah ya. Ai harus jadi anak yang kuat dan cerdas seperti Okasan. Katanya Ai mau jadi dokter,"

"Uhm," Ai mengangguk.

"Lusa, Otosan yang temani Ai masak. Oke?"

Ai menggeleng, "Ai tidak mau ke perayaan itu,"

"Lho..."

"Okasan kan di surga, Ai mau taruh bunga saja di nisan Okasan pas hari ibu. Boleh?"

Shinichi menepuk kepala putrinya, "hai hai... nanti Otosan minta ijin pada Sensei ya. Kita taruh bunga saja ke tempat Okasan,"

"Uhm," Ai mengangguk imut sebelum memeluk ayahnya lagi.

"Sekarang makan yuk, kata Oba-chan Ai belum makan,"

"Hai... tapi Ai mau digendong di leher..."

Shinichi terkekeh, "ayo!" lalu ia menggendong Ai dan meletakkannya di leher. Akhirnya mereka tertawa bersama-sama saat menuju ruang makan.

***

Pagi itu, alih-alih merayakan Hari Ibu di sekolah, Ai dan Shinichi memilih merayakannya di kuburan. Dengan tangan mungilnya, Ai meletakkan bunga lili putih kesukaan ibunya di nisan Shiho.

"Okasan! Selamat Hari Ibu! Ai bawakan bunga kesukaan Okasan," kata Ai polos.

Shinichi berjongkok seraya memeluk putrinya. Bersama-sama mereka memandang nisan Shiho.

"Hai Shiho... Selamat Hari Ibu..." ucap Shinichi dengan mata berkaca-kaca. "Kau lihat sendiri Shiho? Ai sudah besar. Dia sangat cerdas seperti dirimu..."

"Nilai matematika Ai selalu 100!" kata Ai riang.

"Arigatou ne Shiho. Kau telah memberiku sesuatu yang sangat berharga. Ai benar-benar menguatkanku disaat aku merana karena begitu merindukanmu. Aku janji, akan menjaganya, satu-satunya bagian dirimu yang masih tersisa..."

"Ai sayang Okasan," Ai memberikan flying kiss nya untuk Shiho.

Shinichi mengecup putrinya, "kita pulang sekarang?"

"Uhm," Ai mengangguk.

Shinichi berdiri seraya menggendong Ai, "dadah dulu ke Okasan,"

"Dah Okasan! Nanti Ai datang lagi ya," dan ia memberikan kissbye nya lagi.

Ayah dan anak itu pergi tanpa menoleh lagi.

Rise of The ScientistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang