Erlang-Chapter XIX 'Jarak Yang Tersembunyi'

262 21 0
                                    

"Apaan dah Lang? Ini gua mau minjem pensil bukan bolpen."

Erlang langsung dengan cepat menyerahkan pulpen yang ia miliki dan tenggelam kembali ke dalam pikirannya. Kejadian pagi ini terus terngiang di benaknya. Tadi pagi Erlang terpaksa kembali ke kantor sang Papa hanya untuk mengambil buku catatannya yang tertinggal.

"Pa, buku aku ketinggalan." Erlang dengan napas tersenggal-senggal mengejar sang Papa, sementara yang sedang di panggil sibuk dengan ponselnya dan terlihat gusar. Tangannya menunjuk ke arah ruangannya sembari mengangkat panggilan yang masuk.

"Erlang ambil sendiri aja, langsung ke sekolah. Udah telat." Dan Erlang langsung bergegas masuk ke dalam ruangan sang Papa. Matanya melihat buku yang sedang ia cari telah berpindah ke meja sang Papa. 'Nah. Untung aja ketemu.' Tangannya menepuk keningnya perlahan. "Jangan sering-sering ilang ya? Bikin pusing." Ucap Erlang sembari mengusap bukunya pelan.

Tapi, baru saja ia ingin keluar dari ruangan sang Papa, salah satu dokumen yang berada di atas meja sang Papa menarik perhatiannya. Judul yang berada di atas kertas itu sudah lagi tak asing untuk Erlang, surat permohonan izin cerai. Hatinya mencelos, tapi ini bukan pertama kalinya Erlang melihat surat ini. Tangannya meraih ponselnya dan memotret dokumen itu.

Begitu Erlang selesai, ia langsung berjalan keluar tanpa menanyakan apa yang baru saja ia lihat. "Aku ke sekolah Pa." Ucapnya singkat dan ia tidak menunggu balasan dari sang Papa.

Pikiran Erlang terus menjelajahi surat gugatan perceraian yang ia lihat di atas meja kantor sang Papa, tangannya mengeluarkan ponsel yang berada di saku nya. Matanya menatap hasil pencarian yang ia lakukan di Google. Ini bukan pertama kalinya ia melihat surat ini, tapi ini adalah surat pertama yang ia lihat sejak beberapa tahun lalu.

Tangannya mengetikan proses cerai, matanya membaca dengan pelan. "Gak, seharusnya mereka belum ngajuin ini. Gak mungkin diem-diem tanpa gua tau." Gumam Erlang dengan pelan. Tapi, apa yang membuatnya dapat begitu yakin bahwa mereka tidak melakukan hal tersebut diam-diam di belakangnya? Tangannya kembali membuka foto yang ia tangkap, jemarinya membesarkan bagian tanggal yang berada di surat itu.

"...Lang! Lang! Buset dah, itu telinga buat pajangan doang apa yak?" Arvin menepuk pundak Erlang sedikit keras. Yang mengembalikan Erlang ke dunia nyata, tangannya langsung memasukan ponselnya ke saku. "Paan sih?" Erlang dengan nada tak ramahnya menjawab.

"Galak amat. Di cariin bu Inde tuh, bukan salah gua."

Kakinya berjalan ke kantor guru dengan lesu. Rasanya ia tidak ada semangat untuk bertemu siapa pun. Dengan wajah bete nya ia memasuki kantor guru. "Pagi bu." Sapa Erlang ke bu Inde.

"Eh Erlang, ini ibu mau tanya soal olimpiade yang ibu kasih tau ke kamu waktu itu." Bu Inde menjeda perkataannya dan melihat ekspresi Erlang yang datar. "Gimana? Udah dipikirin? Kamu mau?" Tanya bu Inde bertubi-tubi.

Dalam hati Erlang mendengus. 'Mana sempat mikirin hal kayak gitu. Udah ke buru pusing kali sama yang lain.' Katanya dalam hati. "Belom bu. Berasanya kayak baru kemarin ibu tanya, udah di tanya lagi." Ungkap Erlang jujur.

"Karna kita juga harus segera mendaftarkan murid-murid yang ikut Erlang. Ayo, ibu yakin kamu pasti bisa mengharumkan nama sekolah ini." Bujuk bu Inde.

Erlang mendelik dengan muka cemberutnya, "Erlang semprotin parfum aja ke lambang sekolah, semerbak deh bu."

"Jangan seperti itu Erlang. Ibu tau potensi kamu makanya ibu ingin kamu menggunakan kemampuan kamu. Lagipula, kamu tidak ingin membanggakan orang tua mu? Ibu yakin deh, kalo ini bakal jadi pelajaran yang berharga buat kamu dan siapa tau kalau kamu menang ini bakal jadi salah satu prestasi yang berguna buat kamu di masa kuliah nanti."

'Membanggakan orang tua?' Salah satu ide langsung muncul di kepala Erlang. Dia belum pernah mengundang Papa atau sang Mama ke acara olimpiade. Bagaimana jika ia berhasil memenangkan penghargaan ini dan mereka menyaksikan dia menerima penghargaan itu? Kini Erlang tertarik dengan olimpiade ini.

"Orang tua boleh nyaksiin kan bu?" Erlang bertanya dengan binar di wajahnya.

Bu Inde yang menangkap hal itu langsung dengan cepat meng-iyakan pertanyaan Erlang, "tentu saja boleh Erlang, kamu tertarik?" Tak menyia-nyiakan kesempatan bu Inde bertanya.

Erlang tersenyum lebar, "Erlang ikut bu. Makasih." Ucapnya singkat. Kini di benaknya timbul berbagai macam cara untuk mengundang Papa dan Mama nya ke acara olimpiade nya.

"Oke, ibu akan segera masukkan kamu ke kelas ekstra olimpiade. Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lalu-lalu, Olimpiade biasa bakal di selenggaraan dalam beberapa bulan lagi. Tapi, ibu yakin kamu bisa." Bu Inde menjelaskan. "Semangat Erlang, ibu yakin kamu bisa. Udah kamu boleh balik ke kelas."

"Erlang udah di usir nih bu ceritanya?" Dengan usil Erlang berkata, kemudian ia melanjutkan perkataannya, "makasih bu." Kemudian ia tersenyum. 'Yes! Peluang baru.' Pikir Erlang. Pengambilan rapot mungkin tidak berhasil bagi Erlang untuk meminta orang tuanya, tapi mana ada sih orang tua yang gak bangga anaknya ikut olimpiade? Erlang hanya berharap ini akan menjadi kejutan yang hebat bagi mereka saat ia bisa berdiri dengan tegak meminta mereka datang ke olimpiade yang ia ikuti. Selain itu, Erlang juga berharap dengan ini orang tuanya dapat melihatnya dengan positif. Lagipula matematika merupakan subjek kesukaannya. Jadi, tidak ada salahnya untuk mengikuti olimpiade ini.

Erlang kembali dengan senyum lebar ke dalam kelas, tetapi ia masih bingung dengan surat gugatan cerai yang ia lihat di meja sang Papa. 'Baru kemaren ngerasa deket, rupanya kita masih jauh banget.'

Jarak selalu memisahkan mereka tak peduli walau mereka berada di tempat yang sama, maka dari itu, sebenarnya walau mereka berada di tempat yang berdekatan, Erlang tak pernah dapat menebak apa yang ada di pikiran orang tua nya. Ia bahkan tak tau apa mereka dapat memahami apa yang dia inginkan. Yang Erlang pahami hanya keinginan dirinya untuk menjadi jembatan bagi kedua orang tuanya agar ia dapat merasakan keluarga yang begitu ia cari.

© NovelynMignonette
07 Juli 2023

Ini Aku, ErlangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang