Erlang-Chapter XXI 'Tak Mereka Pahami'

206 26 0
                                    

Aku juga manusia

Tangan Erlang menulis di atas buku catatan pribadi nya. Entah berapa lama lagi dia harus berlarian dan berlarut dalam permainan ini. Tangannya melihat permen yang di berikan Kirana yang pasti merupakan anak dari saudara Mama nya.

Erlang terkekeh pelan, "aku gak tau siapa-siapa." Wajahnya menumpu di atas meja.

"Tasya!" Teriakan seorang wanita melegar di dalam rumah itu. "Siapa anak itu?" Tanya wanita itu. Sedangkan Erlang yang masih berada di sebelah sang Mama hanya terpaku di tempatnya.

"Ini Erlang Ma." Jawab sang Mama dan sang Mama mendorong dirinya ke depan wanita itu. "Panggil Oma." Ucap sang Mama. Belum sempat Erlang menyapa wanita itu luapan amarah terdengar dengan jelas di telinganya.

"TASYA! Kamu paling tau Mama paling benci dengan keluarga mereka! Dan-" Ucapan wanita itu terjeda, "DAN KAMU BAWA ANAK HARAM INI KE SINI?!" Teriakan keras yang tidak di mengerti itu sudah cukup membuat Erlang sadar bahwa dirinya tidak di inginkan oleh sang Oma.

"Pah! Lihat yang di bawa Tasya! SELAMA KAMU MASIH SAMA ANAK ITU, JANGAN PERNAH KAMU PULANG!" Wanita itu dengan lantang berkata. Erlang yang awalnya menunduk memberanikan diri mengangkat wajahnya dan menatap wanita yang seharusnya ia panggil Oma itu.

"APA KAMU LIHAT-LIHAT! MAU DI COLOK MATANYA?!" Dengan geram wanita itu berkata dan mendorong tubuh kecil Erlang. Erlang tersungkur dan sang Mama tidak berniat membantunya berdiri. "Ma! Tolong Ma, aku cuman kangen sama kalian!" Ucap sang Mama.

"INI BUKAN TEMPAT UNTUK ANAK HARAM ITU TASYA." Wanita itu berteriak dengan kencang tangannya beralih mengambil vas terdekat dan melemparkannya ke arah Erlang.

Tuk! Prank!

"KAMU GAK MALU?! MAU DI TARUH DIMANA WAJAH KELUARGA KITA?!" Sang Oma berteriak melegar, menolak keberadaan Erlang. 

Vas itu mementuk kepalanya dan pecah jatuh di lantai, tapi semua orang hanya mementingkan amarah mereka. Kebencian yang begitu pekat membuat Erlang yang berada di lantai merasa malu, ia hanya ingin mengikuti sang Mama.

Di hari libur ini, Erlang yang akan naik ke kelas 3 hanya memiliki satu permintaan kepada sang Mama, untuk mengikuti sang Mama yang akan berkunjung ke tempat sang Opa dan Oma. Ia kira sang Opa dan Oma akan menerima nya dengan tulus seperti sang Nenek yang menjaganya dari kecil.

Seharusnya ia sadar begitu sang Mama yang mati-matian menolak membawa dirinya, seharusnya ia tetap berada di rumah dan menunggu Mama nya pulang. Seharusnya dan seharusnya, Erlang yang kecil di paksa menerima keadaan dunia yang menolaknya dengan keras.

"Papa kecewa Tasya, Papa gak ingin bertemu dengan anak itu." Ucapan dingin dari seorang pria. Realita menampar diri nya dengan keras, penolakan yang ia terima begitu menyedihkan.

Erlang berdiri dari tempatnya tanpa memperdulikan pecahan vas yang berserakan, kepala nya terasa sakit, tangan yang membangunkan dirinya juga mengenai pecahan vas yang berserakan. Air mata mengalir deras dari mata Erlang dengan sesegukan Erlang berteriak dengan keras, "AKU GAK PENGEN KETEMU OPA DAN OMA LAGI."

Padahal Erlang belum saja sempat menatap wajah mereka dan matanya yang di penuhi air mata membuat dirinya tidak dapat melihat dengan jelas. Tapi, mata yang begitu tajam menatap dirinya terus membekas di pikirannya, dirinya tidak terima di perlakukan seperti seseorang yang tidak seharusnya hadir. Erlang juga ingin di terima walau ia tidak mengerti alasan penolakan semua orang terhadap dirinya.

Hanya itu kenangan yang ia punya terhadap sang Opa dan Oma, penolakan yang begitu ketara ia rasakan. Ia kira mereka sudah berubah, mengingat ia tidak pernah bertemu dengan mereka lagi sejak saat itu. Siapa yang sangka bahwa mereka masih mengunjungi sang Mama. Jika bukan karena sang Mama, ia tidak akan pernah lagi ingin menemui mereka. Apalagi ia harus mendekati mereka untuk dekat dengan sang Mama.

Mata Erlang menatap lauk yang sudah ia bawa dari tempat sang Mama dan menyuapkan satu sendok kuah soto masakan sang Mama. "Enak Ma, Erlang suka." Ucapnya dalam ruangan yang sunyi.

Tiba-tiba Erlang tertawa kecil, "...anak haram." Kata yang tak ia mengerti saat ia masih kecil, tapi Erlang paham bahwa kata itu memiliki konotasi negatif. Sekarang ia seakan ingin tertawa atas perkataan sang Oma yang begitu membekas, kata yang awalnya tak ia mengerti telah menjadi bagian hidupnya. Pertanyaan melintas di kepalanya, apa yang ia lakukan hingga ia pantas menerima label ini? Apa hak mereka yang tidak mengerti untuk memojokkan diri nya dengan status ini? Menjadi anak yang memang ada sebelum pernikahan orang tuanya bukan merupakan pilihannya, bukan diri nya yang meminta hal ini. Hal apa yang membuat mereka merasa bahwa diri nya pantas menerima olokan itu? 

Erlang sadar bahwa diri nya merupakan anak yang tercipta sebelum pernikahan orang tuanya saat ia melihat bulan pernikahan orang tuanya yang ternyata 2 bulan sebelum kelahiran diri nya. Awalnya ia mengira tidak ada yang aneh dengan hal tersebut, tapi saat ia mempelajari pelajaran di sekolah ia sadar bahwa apa yang di katakan sang Oma memang benar. Ia adalah anak haram. Tapi, hal ini bukan lah kesalahan dirinya.

"Ini aku, Erlang." Erlang menarik napasnya dengan dalam, "cuman Erlang." Tanganya kembali menggoreskan tinta pen menuliskan curahan hatinya. Erlang adalah Erlang, ia hanyalah anak dari kedua orang tuanya, terlepas dari bagaimana ia ada. 

58

How are you now? I was just a kid stuck in the realms of emotion...

Erlang menggambar asal manusia-manusia kecil di halaman itu. Tangannya membuka laci kecilnya dan kembali menaruh buku itu ke dalam lemari. Tanganya tergerak mengambil file yang ia miliki dan membuka piagam-piagam yang telah terkumpul sejak ia masih kecil.

"Siapa bilang gak bisa jadi dokter?" Seraya tangannya membalikkan piagam-piagam yang ia dapatkan. Kompetisi matematika, kompetisi sains, juara kelas, dan masih banyak penghargaan lain yang ia terima. Semua penghargaan yang ia dapatkan dengan kerja keras itu ia susun dengan rapih. Ada kebanggaan bagi dirinya ketika ia menerima itu semua. "Udah ganteng, pinter lagi. Kurang apa coba?"

Erlang mementuk kepalanya di meja, entah apa yang ia pikirkan begitu menghancurkan prestasi akademiknya yang tak berpengaruh apa-apa untuk orang tua nya, sebaliknya hal itu malah merugikan dirinya. "Bodoh banget sih." Umpatnya kepada dirinya sendiri.

"Opa? Oma? Keluarga? Aku gak butuh itu semua sebenarnya. Tuhan, aku cuman pengen Papa sama Mama dan Nenek." Gumam Erlang kecil. "Kalo aku gak seharusnya disini, bawa aku pergi Tuhan." Erlang yang tersadar dengan perkataanya dengan cepat menampar pipi nya. "Gak, gak, masih ada Nenek. Siapa yang bakal jagain Nenek kalo bukan aku." Ucap Erlang menyadarkan diri nya.

"Jangan deh Tuhan, Erlang masih pengen di sini. Jagain Nenek." Dan malam di lalui dengan Erlang yang akhirnya menidurkan diri nya di teras sembari menatap langit malam yang begitu gelap. "Apa aku egois?" Ia mengangkat tangannya berusaha menangkap bintang yang berada di langit. "Aku juga butuh rumah." Bisiknya pelan kepada angin yang berhembus.

© NovelynMignonette
21 Juli 2023

Ini Aku, ErlangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang