NWS | BG-20

13K 1.4K 115
                                    

Kaizar masih menangis sembari bersandar didada sang ayah. Sena juga dengan lembut menempelkan es batu ke dada Kai yang tampak memar.

Sena hanya mensyukuri satu hal setelah kejadian tadi, kalau benturan didada Kai tidak sampai mematahkan tulang rusuknya.

Meletakkan es batu. "Jangan nangis terus, nanti kalo Daddy ikut sedih gimana? Adek mau ngehibur?" Telapak tangan besar itu mengusap dada sang anak.

"Sakit," Lirih sekali. Tapi masih bisa didengar dua orang dewasa disana.

Mereka merasa sedih. Entah sakit yang mana maksud Kai. Sakit karena terbentur, ibunya yang berani mendorongnya, atau perkataan Betsy yang tak pantas dan tak seharusnya diucapkan oleh seorang ibu.

"Abang obatin ya?"

Anggukan kecil adalah jawaban dari pertanyaan Charli. Kedua tangan kecil Kaizar merentang, meminta gendong kepada Abang sulungnya.

Dengan lembut dan pelan Charli mengangkat Kai. Sangat hati-hati, ia takut membuat kulit adiknya tergores karena sentuhannya.

"Stt ... Nanti dadanya sesek, adek mau susu?"

Mengangguk kecil. "Sama balon adek."

Sena tersenyum kecil. "Daddy ambilin dulu, tapi Daddy sampe sini adek harus udah nggak nangis, oke? Adek harus tau, Daddy sayaaaaang banget sama adek. Nggak terhitung sayangnya, adek nggak boleh nangis lagi. Oke?" Sena mengecup lama pipi Kai, lalu berjalan menjauh untuk membuat susu dan mengambil balon Kai.

Jemari Charli terus menyisir rambut adiknya yang terasa lepek. Sesekali juga mengusap keringat yang membanjiri dahi sang adik.

Charli juga sudah mengabari Maren atas apa yang terjadi, pemuda itu juga sudah bergegas untuk pulang. Tidak ada yang lebih penting dari Kaizar.

"Tadi main kemana aja? Kok Abang nggak diajak?"

Kai mengenggam erat ibu jari Charli, anak itu sudah tidak menangis. Namun masih ada isakan kecil.

"Taman," Balas Kaizar lirih.

"Oh ya? Abang sedih deh nggak diajakin."

Mendongak menatap Charli yang memasang ekspresi sedih. Kai berkedip pelan. Bibirnya melengkung kebawah, matanya kembali berkaca-kaca.

"Eh, enggak ... Abang nggak sedih, Abang nggak sabar mau liat mainan baru adek."

Suara tangisan kembali terdengar. Charli terus memberikan kalimat penenang dan juga pelukan hangat.

"Sakit," Lagi. Suaranya begitu lirih dan kata yang sama.

"Mana yang sakit, hm? Bilang sama Abang, biar Abang usir sakitnya karna udah nakalin adek."

Charli memilih beranjak dan menimang Kai, menepuk pelan pantat adiknya.

"Jangan sedih, Abang ikut sedih."

***

Sena menatap datar istrinya yang tengah duduk sambil menundukkan kepalanya tepat dihadapannya.

Saat setelah membuatkan Kai susu, Sena dicegat oleh istrinya. Betsy mengatakan kalau ia ingin berbicara padanya.

"Mau kamu apa?" Sena memulai pembicaraan.

Mendongak, lalu menggeleng. Entah kemana hilangnya kata-kata pembelaan yang sudah disusun tadi.

"Masih mau ngurusin anak orang lain? Kamu nggak mikirin mental anak kamu? Selama hidupnya baru kali ini kamu main tangan. Sebenernya yang harusnya kecewa itu aku, kayak nggak bisa didik istri sampe anak sendiri dikasari."

"Aku reflek aja tadi, maafin aku."

"Minta maaf sama anakku, karna bukan aku yang kamu dorong."

"Aku... "

Tatapan Sena melunak. "Berapa taun si kamu jadi ibu, sy?"

"Maaf."

"Sekarang mau apakan anak-anak itu?" Tanya Sena. "Apa aku yang anterin mereka, sekarang?"

Menggeleng ribut. "Besok Nendi jemput mereka."

"Bagus, jangan temui aku dan anak-anakku kalo dua anak itu masih sama kamu."

"Terus, Kai gimana? Dia baik-baik aja?"

"Nggak, Keadaan dia buruk karna kamu," Setelah mengatakan itu, Sena langsung beranjak dan pergi meninggalkan Betsy yang terus menunduk.

Rasanya seperti menyesal, sedih, dan kecewa terhadap dirinya sendiri.

"Maafin Mommy, Kai."

Kepalanya menoleh ketika mendengar suara langkah kaki begitu ribut.

Maren, ia berjalan tergesa. Pemuda itu ingin cepat-cepat bertemu dengan Kai. Memeluk hangat dan memberi perlindungan untuk adiknya.

"Bang," Panggilan itu langsung menghentikan langkah Maren. Pemuda itu menatap sang ibu dalam. Kecewa? Jelas saja.

"Jangan ngomong sama aku. Aku nggak mau ngomong sama orang jahat."

Betsy menatap sendu punggung putranya yang mulai menghilang dari pandangannya.

Wanita itu menutup wajahnya, menangisi alur keluarganya yang baru kali ini seperti diujung tanduk.

***

Begitu sampai didepan pintu kamar adiknya, Maren langsung membuka pintu itu secara kasar. Dua orang dewasa disana langsung menoleh kearah pintu.

"Adek?"

Charli merlirik kearah Kai yang tertidur sembari menyedot nipple buatan itu rakus.

Melangkahkan kakinya menuju kasur, lalu menjatuhkan dirinya disamping Kai. Mengamati wajah yang terlihat sembab, Maren mengerutkan dahinya. "Ini beneran tidur apa preng si?"

Alasan Maren menanyakan itu adalah karena mata sang adik yang terbuka, seperti, tidak tidur?

Maren mencoba membuka mata Kai menggunakan ibu jari dan telunjuknya. "Dek?"

Pukulan keras mendarat dipunggung Maren, disusul tepisan kasar dari si sulung.

"Jangan digituin matanya," Menatap kesal sang adik.

"Ya lagian melek, kayak nggak tidur."

"Sudah, kalian ini malah ribut. Kasian adek kalian biar istirahat."

Maren menegakkan badannya. "Ceritanya gimana sih, Dad?"

"Selva sama adek rebutan mainan," Menghela nafasnya.

"Kenapa nggak dipulangin aja sih? Kesel aku lama-lama. Udah numpang, nggak tau diri."

"Besok pakde kalian bakal jemput kesini."

"Kelamaan, mending kita buang dipinggir jalan aja sekarang."

Charli memukul Maren. "Mulut Lo enteng bener. Begitu juga anak orang, Mommy juga yang bakal kena imbasnya."

"Biarin, Mommy aja jahat."

Membuang nafasnya, kepalanya terasa semakin berdenyut. "Lebih baik kalian bersih-bersih sana, Daddy makin pusing karna denger suara kalian."

***

Kayaknya bentar lagi mau pisah sama Kai💖

Maaf dan makasih yaaa bundd🥺💚

Nawasena [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang