Bian

814 156 10
                                    

Bian mengajak kami ke sebuah restoran makanan laut di tepi pantai. Kabar-kabarnya, kalau mau makan di restoran ini harus sudah pesan dari 2 minggu sebelumnya dan jelas pakaianku dan Dhafa tampak underdressed dibandingkan para pengunjung yang datang.

Awalnya aku mengajak Bian untuk pindah lokasi makan malam, tetapi melihat Dhafa yang sudah keburu ngiler dan kelaparan, aku memilih mengalah. Apalagi, setelah Bian cerita kalau ia perlu merayu sang pemilik resto yang merupakan sepupunya untuk memberikan meja kepada kami malam ini. Aku rasa, keluarga dan kerabat Bian memang memiliki kerajaan bisnis di bidang FnB.

Kalau dilihat-lihat, seharusnya aku sadar kalau Bian ini bukan berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Lihat aja tampilannya yang ngga jauh beda dengan Christian Grey versi anak baik-baik. Maksudku, look at him, dia bahkan kayaknya bisa beli kapal pesiar detik ini juga dan berlayar ke pulau antah berantah pribadi miliknya.

Oke, mungkin itu agak berlebihan, tapi Bian jelas bukan orang-orang seperti rekan kerja yang biasa kutemui. Bian lebih cocok duduk bersama Keynan--kalau saja Keynan nggak keburu antipati dengannya--dan membicarakan perusahaan mana yang cocok diakuisisi oleh perusahaannya.

Tak sadar aku sudah memperhatikan Bian lebih lama dari seharusnya. Tatapanku jatuh pada kemeja biru langit lengan panjang yang ia kenakan yang dilapisi dengan kaus berwarna putih serta celana panjang berwarna abu-abu gelap sebagai bawahannya.

Aku sendiri? Memakai daster pantai. Ya, Tuhan... semoga Bian nggak merasa malu membawaku ke sini. Dhafa sendiri... Lho, ke mana Dhafa?"

Aku mencari Dhafa di sekelilingku, ternyata anak itu menjauh ke arah pantai sedang... Oh, menerima panggilan video dari pacarnya, Naira.

"Dafeeya?" panggil Bian.

"Y-yaa?" jawabku separuh terkesiap.

"Kamu mau cumi saus telur asin atau cumi asam manis?" tangan masih memegang buku menu sementara pelayan di sebelahnya menunggu dengan sigap mencatat segala pesanan.

"Telur asin," jawabku.

"Kepiting lada hitam atau kepiting saus padang?"

"Lada hitam."

"Telur atau jantan?"

"Telur," jawabku lebih seperti menjawab pertanyaan kuis pada kuliah yang diajar oleh Keynan dulu. Setelah memesan beberapa menu, rasanya seperti aku baru saja selesai memenangkan kuis Benar atau Salah.

Dhafa masih belum kembali. Aku melirik layar ponselku dan tak melihat pesan Keynan di sana. Tumben. Kulirik Bian, dia pun sama tengah sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya.

"So..." kataku membuat Bian menoleh.

"Who's the lucky girl?"

"Siapa?" tanyanya bingung.

"Pacar kamu."

Bian tertawa, menyudahi kesibukan pada ponselnya dan menaruh perhatiannya padaku. "I don't have any."

"No waayy."

Bian mengangkat kedua bahunya. "Kenyataannya begitu."

"Kamu nggak gay, kan?" tanyaku yang langsung kusesali. Tawa Bian seketika pecah.

"Saya masih tertarik dengan makhluk bernama perempuan."

Entah kenapa, aku menarik napas lega. "Syukur, deh. Kalau begitu, tipe perempuan apa yang kamu suka?"

Bian mengangkat sebelah alisnya. "Kalau saya kasih tahu, memang kamu mau ngapain?"

"Siapa tahu aku punya kandidat yang cocok."

The Great Teacher My FiancéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang