Sebuah Pengakuan

1.1K 185 20
                                    

Berhubung aku sudah nggak aktif lagi bekerja, sekarang selain mematangkan persiapan pernikahanku, aku sedikit-banyak mulai belajar cara mengurus rumah tangga. Mulai dari memasak, mencuci, berkebun, bahkan Papa bilang penting bagiku untuk mulai membaca-baca buku mengenai parenting. Aku nggak berpikir sejah itu, bahwa tanggung jawab setelah menikah itu cukup banyak. Tapi katanya, kalau kamu memilih pasangan yang tepat, semua itu bisa jadi perjalanan yang menyenangkan. 

Sambil melatih kemampuanku memasak, sesekali aku membawakan bekal makan siang untuk Keynan. Seperti hari ini, Keynan punya jadwal mengajar pada pukul 2 siang. Jadi, kami bisa makan siang bersama. Aku membawakannya nasi beserta ayam goreng mentega--percobaan pertamaku--tumis brokoli, dan juga bola udang goreng--kalau ini aku sudah beberapa kali mencoba memaskanya dan Keynan nggak pernah protes dengan rasanya.

Aku memandang jalanan lengang di hadapanku sambil menarik napas panjang. Akhir pekan depan, tepat akhir pekan depan, aku sudah memasuki fase hidup baru. Papa bilang, mulai besok aku sudah mulai dipingit. Jadi, hari ini adalah kesempatan terakhirku menemui Keynan sebelum hari pernikahan kami. Papa juga melarang kami melakukan panggilan video karena katanya itu sama aja dengan bertemu. Hih.

Keynan menyambutku di pintu masuk gedung perkuliahan. Beberapa orang melirik kami--tepatnya Keynan, karena mungkin kabar mengenai pernikahan kami sudah mulai tersebar. Para mahasiswi itu mungkin penasaran siapa perempuan yang akhirnya akan dinikahi dosen idola di kampus mereka.

"Kita makan di kantin aja, yuk?" tawarku. "Biar sekalian pesan minuman di sana." Keynan langsung menyetujui ideku. 

Aku menatap tentengan bekal makan siang kami yang dibawa Keynan lalu melihat keadaan sekitar. "Ternyata walaupun kabar kamu mau nikah udah tersebar luas di kampus, masih banyak aja mahasiswi yang tebar pesona ke kamu, ya." 

Keynan menoleh dan tertawa. "Aku nggak bisa ngapa-ngapain kalau soal itu."

Kami duduk di bagian ujung kantin. Suasana kantin ramai karenamemang ini waktu makan siang. Melihat situasi di sini benar-benar mengingatkan momen awalku berkenalan dengan Keynan. Dia yang  tadinya sangat kaku sekarang manjanya bisa kelewatan.

"Habis ngajar, aku mampir ke kantor sebentar," info Keynan. Aku mengangguk. 

"Habis ini aku sama Kara mau mampir ke tempat spa, ya." Keynan balas mengangguk. Menjelas hari pernikahan, Kara dan Mama sama-sama ribut memberondongku untuk melakukan berbagai macam perawatan. Katanya, karena aku udah terlalu sering bertemu Keynan, tubuhku harus lebih banyak dipoles agar lebih "manglingin" di hari pernikahanku nanti. 

"Mau perawatan apa hari ini?" tanya Keynan penasaran.

 Aku bisa melihat senyum menggoda di wajah Keynan. Semenjak aku cerita mengenai jadwal berbagai perawatanku, Keynan jadi besar kepala. Dia senang bukan main karena menurutnya aku udah berusaha luar biasa buat tampil sempurna di depannya--yang mana sebenarnya menurut Keynan nggak perlu karena buat dia aku sudah sempurna apa adanya. Asik. Boleh juga gombalannya.

"Lumayan banyak. Aku kayaknya bakal sampe rumah malam. Perawatan rambut, manicure dan Pedicure--untuk kuku, kayaknya hari ini juga jadwalnya mandi susu."

"Mandi susu?" tanya Keynan bingung. "Beneran pake susu?"

"Mungkin iya," jawabku asal dan Keynan mengangguk-angguk seperti terkesima. 

"Ternyata banyak sekali persiapan yang dilakukan calon pengantin wanita, ya."

Aku mengangguk membenarkan. "Makanya, kalau kamu mau istri kamu tetap cantik, kamu harus sediain biaya untuk perawatan bulanan ya, sayang..." Kataku dengan senyum memelas kepada Keynan.

Sudut-sudut bibir Keynan tertarik. "Kalau soal itu, kamu nggak usah khawatir. Omong-omong, makanan hari ini enak banget. Sayang porsinya terlalu sedikit," komentarnya. Aku melihat kotak bekal Keynan yang sudah habis seluruhnya sementara punyaku masih tersisa separuh.

The Great Teacher My FiancéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang