The Bride's Problem

6.8K 791 31
                                    

Ternyata memilih wedding organizer nggak semudah tertidur di kelas filsafat zaman kuliah dulu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ternyata memilih wedding organizer nggak semudah tertidur di kelas filsafat zaman kuliah dulu. Kara selalu berbaik hati memberikan masukan mengenai wedding organizer yang kupilih dalam daftar. Aku rasa kalau saja Kara mau berganti profesi, dia bisa menjadi Bride Consultant mungkin? Ada nggak sih pekerjaan semacam itu? Atau pengetahuanku di bidang ini memang terlalu minim?

Nggak seperti Kara, meminta pendapat kepada Dhafa itu sama sekali nggak bermanfaat. Selain minim tanggapan, ujung-ujungnya malah semakin membuat bingung. Tetapi peran Dhafa sangat besar dalam menjadi ajudanku. Terima kasih kepada Keynan yang sudah memberikan wewenang kepada Dhafa secara langsung dengan iming-iming tiket konser band Jepang kesukaannya yang akan tampil di Jakarta akhir bulan. Aku rasa Keynan dan Dhafa sudah menemukan kecocokan satu sama lain. Lihat saja betapa Dhafa lebih akrab dengan Keynan daripada denganku. Aku juga curiga sepertinya Dhafa mulai curhat tentang Naira kepada Keynan.

Hah. Tak tahu saja dia Keynan itu payah soal percintaan. Yang dia tahu cuma belajar. Aku sendiri akan merekomendasikan Papa ketimbang Keynan untuk menjadi soal konsultan percintaan.

Ini dia. Panjang umur orangnya.

Aku buru-buru mengangkat panggilan dari Keynan sebelum lelaki itu membombardir orang-orang terdekatku untuk memastikan keadaanku.

"Baru kembali ke hotel, maaf baru sempat kasih kabar. Sedang apa?"

Suara Keynan terdengar lelah. Bisa kubayangkan bagaimana ia melewati hari ini dengan mengobrol serius bersama beberapa orang. Lalu kudengar suara air dituangkan ke gelas.

"Bapak Keynanku tersayang, bisa nggak nada kamu sedikit lebih rileks, nggak kaku begitu?" sindirku yang membuat Keynan tertawa.

"Saya kangen kamu."

"Aku juga. Gimana acara hari ini?"

"Good. Lancar."

"Hm...."

"Dafeeya?"

"Ya?" aku tertawa. Kebiasaan Keynan memang belum berubah. Ketika ia menyebut namaku, aku jadi teringat bagaimana hubungan kami bermula.

"Kamu tahu ini jam berapa?"

Aku melirik jam dinding di kamarku. "Pukul delapan malam. Seharusnya sih zona waktu kita sama...."

"Bukan, Dafeeya. Ini jam lepas kerja, kelaparan, dan merindukan seseorang." Terdengar suara tarikan napas panjang. "Saya lagi ngebayangin kamu duduk di depan saya dan kita bisa makan malam bersama. Malam ini saya terpaksa makan mie instan cup."

Diam-diam aku tersenyum. Walaupun sedikit kaku, Keynan bisa romantis juga.

"Kamu kan bisa pesan makanan dari hotel atau pesan makanan online?"

"Sudah terlalu lapar, nggak sanggup nunggu." Kalau Keynan sudah memilih makan cepat saji, itu berarti dia memang sudah terlalu lelah.

Dan, ya. Aku juga berharap aku ada di sana untuk menyemangati Keynan. Niatku untuk mendiskusikan rencana pernikahan kami pupus seketika.

The Great Teacher My FiancéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang