Berselisih Paham

5.6K 795 16
                                    

Memasuki pekan kedua tanpa Keynan, masih ada Kara yang menemani. Semenjak putus dari Wira Kara jadi punya banyak waktu luang. Ya, akhirnya cerita mereka harus berakhir karena terhalang restu orang tua. Tak hanya Kara, aku dan keluargaku pun turut merasa sedih. Tetapi kami berusaha tak menunjukkan rasa kecewa kami di depan Kara. Sebisa mungkin kami menghiburnya. Haram hukumnya membahas Wira di depan Kara.

Sudah pasti akhir pekan begini Kara akan bertengger di rumahku kalau dia tidak ada jadwal dengan kaum sosialitanya. Apalagi kalau bukan membawa gosip-gosip sosialita masa kini.

Sekarang kulihat dia sedang sibuk memainkan ponsel sementara aku—setelah kelelahan memasak makan malam seorang diri karena Mama dan Papa pergi—menonton sambil menikmati sepiring siomay.

"Eh, lo tahu Talita Iskandar?"

Nah, sesi pergosipan pun dimulai.

"Hm... yang penyanyi dan baru-baru ini main film itu?"

Kara mengangguk. "Foto-foto liburan ke Jepangnya keren deh. Radio gue rencannya mau ngundang dia buat live QnA gitu."

"Mana sih?" aku melongok ke ponsel Kara. Omongan Kara ada benarnya. Talitha itu salah satu perempuan muda paling berbakat menurutku. Suaranya bagus. Penampilannya juga sangat menjual di dunia hiburan.

"Dia kayaknya akrab sama Bu Rianda deh Fey," lanjut Kara seraya menunjukkan foto Talitha bersama Bu Rianda dalam sebuah acara peragaan busana.

Aku hanya menganggut-anggut, kemudian kembali menaruh perhatianku pada adegan Keanu Reeves berkelahi dengan sekolompok mafia.

Sekitar setengah jam fokus menonton, kulirik ponselku yang nyaris seharian ini membisu. Hanya grup kantor yang rebut dan sudah kumatikan notifikasinya. Pesan yang kutunggu-tunggu justru tak kunjung datang. Agaknya aku kesal dengan Keynan yang kian hari kian sibuk. Tadi siang aku sempat mengirimkan pesan, sekadar menanyakan apakah malam ini ia sibuk dan dapat menerima panggilanku.

Karena pesanku tak dijawab Keynan, kuputuskan untuk meneleponnya. Sementara menunggu panggilanku dijawab, kulirik Kara yang masih saja sibuk memainkan media sosial. Kurasa ia mulai memiliki ambisi menjadi artis sosial media.

Ketika akhirnya—setelah nada dering keenam—panggilanku dijawab, terdengar latar suara yang amat ribut. Kudengar ada suara musik bercampur dengan ributnya suara orang-orang mengobrol. Sudah pasti Keynan sedang berada di luar.

"Halo?" Suara Keynan nyaris tenggelam di antara keributan suara di sekitarnya.

"Kamu di mana?" tanyaku penasaran, berusaha membuat suaraku terdengar santai.

"Lagi makan malam dengan rekan-rekan saya," jawab Keynan singkat. Tidak ada lanjutan lagi, saudara-saudara. Apa memang dia nggak berniat ngobrol denganku hari ini? Astaga. Mengabaikan kekesalanku perihal pesan yang tak dibalas demi menghindari pertengkaran, aku memilih membahas hal lain.

"Gimana persiapan untuk seminar besok? Tadi Papa nanya, kamu kapan pulang ke Jakarta."

"Hm... nggak ada yang spesial. Sama saja seperti sebelum-sebelumnya."

"Kamu lagi di Malioboro, ya? Suara pengamennya bagus deh...." Keynan hanya bergumam sebentar sebelum mengabaikan panggilanku untuk menjawab pertanyaan dari rekan kerjanya yang kurasa... perempuan.

"Dafeeya, di sini agak ribut. Nanti kalau saya telepon balik kalau sudah sampai di hotel, ya?"

"Oh, iya. Nggak apa-apa," jawabku dengn anada tenang. Sesungguhnya hanya Kara yang tahu—lewat lirikan matanya—betapa ingin aku menusuk Keynan dengan garpu di tanganku.

Saat panggilan berakhir, kalau saja ponselku terbuat dari kertas, sudah pasti benda itu sudah remuk, lecek, dan berakhir di tong sampah.

Kara tersenyum seraya memainkan kedua alisnya.

The Great Teacher My FiancéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang