Gosip Miring

1K 186 12
                                    

Aku nggak tahu kalau pembukaan resto temannya Bian akan seramai ini. Maksudku, bahkan beberapa media telivisi ikutan meliput! Ya Tuhan... aku nggak sepantasnya mengenakan pakaian yang lebih cocok untuk kuliah. Walaupun Bian sudah memujiku tampak awet muda, aku benar-benar nggak percaya diri berada di antara kerumunan orang mengenakan gaun malam dan mencicipi segala makanan berkonsep fine dining itu. 

Berbeda denganku, Dhafa justru dengan cuek menyantap setiap makanan yang dihidangkan. Kara dan Deon, bagai pasangan yang dimabuk asmara, sama sekali nggak peduli dengan keadaan di sekitar dan asik dengan percakapan mereka. Aku bahkan sudah mendengar Kara memanggil Deon dengan panggilan "Honey" atau "Hon".

Di sampingku, Bian fokus menyantap makanannya layaknya seorang aristokrat.

"Kamu nggak suka makanannya ya, Dafeeya?" tanya Bian menyadari aku belum menyentuh makananku sama sekali.

"Oh, nggak-nggak. Aku cuma... lagi memperhatikan suasana aja."

"Kenapa? Gimana menurut kamu restorannya?"

"Bagus. Elegan dan menarik." Setelah memamerkan senyum penuh sopan santun kepada Bian, aku mulai menyantap sup krim jamur dengan roti kering yang disediakan.

Entah kenapa, tiba-tiba saja aku berharap ada Keynan di sebelahku. Meskipun ia sedang menjalani masa hukuman tidak  mendapatkan jatah panggilan sama sekali, aku masih memberikan kabar kepadanya melalui pesan. Tadi, aku sudah pamit kepadanya untuk hadir di acara ini. Ia membalas dengan mengirimkanku foto ruang keluarganya dengan televisi menyala menampilkan acara berita terkini.

"Kayaknya acara kamu menyenangkan. Saya cuma nonton tv malam ini."

Aku tahu, dia masih ngambek, tapi tetap tak mau kompromi dengan hukuman yang kuberikan padanya.

"Ngeliatin ponsel terus. Kangen sama tunanganmu, ya?" tanya Bian lagi.

Aku menatap Bian dan mengangguk. "Iya. Biasanya selalu Keynan yang pergi ke luar kota. Ternyata begini ya ada di posisinya. Kangen juga."

Bian tersenyum. Entah aku gila atau berhalusinasi, tapi sepertinya aku menangkap sedikit rasa kecewa tersirat di wajah Bian.

"Besok kan ketemu. Dijemput di bandara?" tanyanya. Aku mengangguk kembali. Kayaknya Keynan bahkan bersedia menunggu di bandara sejak pagi meski penerbanganku baru akan tiba di Soekarno-Hatta pada pukul 2 siang.

Sepanjang malam itu, karena Dhafa lebih fokus menikmati makanan dan Kara sibuk dengan Deon, aku lebih sering mengobrol dengan Bian. Aku bahkan jadi tahu kalau adiknya Bian juga merupakan seorang chef selebriti, Putri Giana. Aku pernah menonton tayangannya dan bahkan mencoba resep ayam goreng saus tiram buatannya. Kalau diperhatikan, wajahnya mereka memang memiliki kemiripan.

Kami pulang dengan keadaan perut terisi. Dhafa yang sepertinya paling puas mneyantap makanan tertidur sepanjang perjalanan kembali ke hotel. Aku dan Kara mengobro di kursi tengah, sementara Deon dan bian berbincang mengenai restoran mereka di kursi kemudi dan penumpang bagian depan.

****

Di hari kepulanganku kembali ke Jakarta, aku sudah mendapatkan banyak sekali pesan dari Keynan sejak pagi. Aku sudah bilang kalau Keynan nggak perlu siap-siap ke bandara terlalu dini, tapi kayaknya dia memang kelewat bersemangat hari ini.

Aku tersenyum membaca pesan-pesannya.

Keynan A.G.: Saya sudah mandi siap ke bandara

Keynan A.G.: Tapi sekarang baru pukul 9 pagi

Keynan A.G.: Saya mampir ke rumah kamu, main catur dulu sama Papa.

The Great Teacher My FiancéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang