Seandainya Bukan Keynan

3.5K 575 22
                                    

"Lo ke sana sendiri? Wah, cari mati lo ya!" Kara memekik di telingaku.

"Seperti yang gue bilang, gue mau menyendiri, nggak bermaksud ketemu Bian," jawabku bisik-bisik di telepon. Begitu Kara tahu aku pergi ke kafe milik Bian, dia langsung menelponku.

"Tapi dia di sana?"

"Yep," jawabku seraya melirik Bian yang kini sedang sibuk melayani pelanggan.

"Kafenya lumayan ramai. Gue nggak yakin Bian sadar gue ada di sini. Lagian, cuma sebentar. Gue udah minta jemput Dhafa, kok."

"Bagus, deh. Gue nggak mau ya bermasalah dengan Pak Keynan. Seram!"

Aku tertawa mendengar omelan Kara. Sudah lama sekali aku tak pernah melihat Keynan versi seram yang barusan dibilang Kara. Kecuali, ya, waktu aku ketahuan menghilangkan cincinku. Sepertinya itu kali terakhir aku melihat tunanganku seperti gunung merapi yang siap meletus. Atau vampir siap mengisap darah mangsa?

Begitu panggilanku dan Kara berakhir, aku kembali menikmati coklat hangat dan panekukku sambil memainkan ponsel. Di luar memang hujan, jadi aku sedikit terjebak di sini lebih lama dari yang kuperkirakan. Berhubung mobilku hari ini dipinjam Dhafa, aku memintanya untuk menjemputku. Kurasa sebentar lagi dia akan sampai.

Tepat ketika makananku habis, seseorang datang menaruh piring berisi sepotong kue coklat di mejaku.

"Melamun sendiri itu nggak baik. Boleh saya temani?"

Aku tersenyum kepada Bian. "Tadinya aku sedang ingin sendiri, tapi toh sebentar lagi jemputanku datang."

"Jadi saya nggak boleh duduk di sini?" tanya Bian seraya menunjuk kursi kosong di seberangku.

Aku tertawa pelan. "Tentu kamu bebas untuk duduk di manapun. Restoran ini milik kamu."

Bian balas tertawa kemudian duduk menemaniku. "Dijemput tunangan kamu?"

Lagi, aku tersenyum tipis. "Dia... agak sibuk. Aku minta adikku yang jemput."

Bian pun menganggut-anggut. Dia menunjuk kue coklat yang diberikannya. "Menu pencuci mulut spesial hari ini, kamu harus coba."

Aku menatap kue coklat dengan es krim vanila tersebut. Tampak menggiurkan. Kurasa hari ini aku memakan gula lebih banyak dari biasanya. Berharap hal itu bisa membuat suasana hatiku lebih baik, kucicipi kue coklat pemberian Bian.

"Luar biasa," pujiku senang. Kue coklat tersebut langsung meleleh di mulutku dan meluncur melalui tenggorokanku dengan mulus. Ada coklat cair di dalamnya yang membuat tekstur kue itu semakin enak.

"Kenapa sendirian?" tanya Bian seraya menatapku penasaran.

Aku terkekeh serba salah. "Bisa dibilang semacam... me time?"

"Tapi mukamu lebih terlihat seperti depression time." Bian mengangkat satu alisnya dan aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Tebakannya tepat sekali.

"Ya... suasana hatiku nggak jauh beda dengan cuaca sekarang."

"Maaf, saya nggak bermaksud lancang, tapi..., ada hubungannya dengan berita yang beredar belakangan?" wajah Bian tampak semakin penasaran.

Aku pun tertawa. "Aku nggak nyangka kamu suka ngikutin gosip juga...."

"Bukan begitu," kilah Bian malu-malu. Wajahnya bersemu merah dibalik kulitnya yang berwarna terang. Dia menunjuk salah seorang pelayan perempuan yang sedang mencatat menu untuk seorang pelanggan. Dari penampilannya tampak ramah dan ceriwis.

"Itu karyawan saya, Fitri. Dia yang paling update tentang berita-berita terkini. Hampir setiap pagi saya dengar dia mengoceh. Jadi, yah... tadi pagi sambil menyusun menu, saya dengar...."

The Great Teacher My FiancéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang