Date?

5.2K 538 2
                                    

Setelah mengantar Sava pulang, Satria memutar arah lagi untuk mengantar Sabil. Keduanya hanya terdiam, bingung. Situasi ini aneh, menurut Sabil. Sejak tadi hanya musik dari radio yang menemani mereka.

"Oi, Bil!" Sabil menoleh, "Apa?" Satria tersenyum jail, "Kencan yuk?"

"Hah?" Alis kiri Sabil naik, refleks ketika bingung atau kaget. Bahkan tanpa mendengar jawaban dari Sabil, Satria sudah membelokkan mobilnya memasuki pelataran mal. Sabil berdecak, "Kalau kaya gini emangnya gue bisa bilang enggak apa?"

Tawa terdengar dari mulut Satria, suara tawa Satria selalu membuat Sabil tak tahan untuk tersenyum. Tawanya selalu membawa orang untuk ikut berbahagia bersamanya.

"Gue mau nonton, cuma 'kan kalo sendiri rasanya jomblo banget. Jadi ... ya lo nemenin gue deh," kata Satria sebelum mematikan mesin mobilnya. Kemudian dia menoleh ke arah Sabil, "Yuk, keluar."

Sabil mengangguk dan menyampirkan tasnya kemudian keluar dari mobil. Satria melakukan hal yang sama, tentu dia tak membukakan pintu untuk Sabil. Bukan karena dia tak gentleman tapi lebih karena dia tak tahu mengapa hal itu harus dilakukan. Selama ini menurutnya itu hanya dilakukan oleh supir, seterah orang ingin beranggapan apa tapi itu jelas adalah prinsipnya. Dia takkan mau membukakan pintu mobil untuk orang lain, lagi mereka sudah memiliki sepasang tangan kenapa dia harus membukakan pintu mobil?

"Bil," Satria berlari menuju Sabil yang jalan tengah berjalan cepat. Tangannya terulur dan meraih tangan Sabil, "Kita ini lagi kencan jadi harus romantis dong. Masa lo ninggalin gue?"

Sabil memutar manik matanya, "Oh puh-les."

Satria tak memperdulikan Sabil, dia malah menyatukan jemari mereka. Aneh, ada rasa hangat ketika jemari mereka bersatu. Rasanya seakan jemari mereka tercipta untuk satu sama lain. Pun Sabil merasakan hal yang sama, rasanya hangat dan membuatnya nyaman. Sabil tak berbohong jika ia tak menginginkan genggaman tangan mereka berakhir.

"Mau nonton apa dah?" Tanya Satria, Sabil sendiri hanya mengangkat bahunya, tak tahu. Satria mencebik, "Ya udah Big Hero Six aja."

Sabil menatap poster yang ditunjuk oleh Satria, sepertinya menarik. Untung lah Satria tak memilih film action atau horror karena Sabil tak menyukainya. Dia benci darah. Tepatnya, fobia terhadap cairan merah kental itu. Bahkan walau hanya sedikit darah yang dilihat tubuh Sabil bisa langsung gemetar dan kepalanya langsung terasa pening.

"Popcorn manis atau asin?" Sabil berfikir, "Asin aja deh."

"Ya udah mba yang asin dua, yang large. Terus minumnya air mineral aja dua," kemudian Satria mengeluarkan beberapa uang lima puluh ribuan dan memberikannya pada pelayan. Setelah itu keduanya masuk ke studio tiga, sebelah kanan paling pojok. Tepatnya baris J, film masih belum dimulai. Masih ada iklan yang baru ditayangkan.

"Emang lo gak punya pacar apa, Sat?" Satria langsung menoleh dan memasukkan popcorn ke mulutnya, "Menurut lo?"

Sabil terkekeh, "Kalo punya gak bakal ngajak gue." Satria menjentikkan jemarinya, "Nah, itu lo tau."

"Ye terus kenapa ngajak gue?" Sabil ingin tahu, sangat. Satria mengendikkan bahunya, "Karena gue kenal sama lo. Karena lo bikin gue nyaman dan sama lo gue gak gagu."

Sabil mengangguk, ya Satria memang selalu kesulitan jika bersama perempuan. Apalagi jika dia menyukai perempuan itu, pasti lah dia akan langsung menjadi gagu. Sabil menghela, itu artinya Satria tak menyukainya. Alasan lain dia mengajak Sabil pasti karena dia adalah teman dari Sava. Menyedihkan memang. Eh, tapi kenapa dia harus sedih?

"Filmnya udah mulai Bil," Satria menepuk pundak Sabil, membuat perhatian gadis itu teralih. Sabil menonton dengan serius, terlebih saat Bay Max muncul dia memekik tertahan, "Gila! Lucu banget!"

SpacesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang