Tell Me, Did You Still Love Her?

3.9K 363 15
                                    

Hari ini, jumat. Satria telah berada di depan monitornya sejak jam satu tadi, memainkan The Sims. Mungkin menurut sebagian orang ini kecewekan, tapi bagi Satria permainan ini benar-benar menghibur. Dia bisa berimajinasi, membuat karakter sesuai keinginannya. Juga pasangan sesuai harapannya. Tangannya berhenti untuk memainkan permainan itu, matanya kini menerawang. Satria mendesah, mendorong kursi putarnya dengan kaki kemudian berputar ke kanan, berulang-ulang.

"Aih!" Serunya, kesal.

Setelah berhenti, dia berdiri. Berjalan beberapa langkah menuju kasurnya dan merebahkan diri di sana. Satria menutup matanya dengan lengan kanan, berpikir. Entah sejak kapan, Sabil selalu berada dipikirannya. Terlebih, gadis itu menghindarinya. Dan beberapa waktu lalu, dengan mata kepalanya sendiri Satria jelas melihat Sabil diantar pulang oleh Alex.

Dia marah? Ya. Kenapa? Itu pertanyaan yang sampai saat ini masih dia pikirkan. Satria tak tahu kenapa ia marah. Dia juga tak mengerti kenapa dadanya terasa sakit. Tidak, jelas-jelas dia tahu dan sadar. Bahkan dia sudah menyadarinya sejak hari itu, disaat ia melihat Alex mengantar pulang Sabil. Tapi entah mengapa, sulit bagi Satria untuk mengakuinya.

Jujur, Satria masih memiliki harapan untuk Yolanda. Dia masih berharap, walau sedikit. Dan Satria takut, takut jika ia mulai menyukai, ralat mencintai -walau itu sudah terjadi- ingatan akan Yolanda menghilang. Satria takut.

Dia menggeleng, bangkit, kemudian berjalan untuk meraih jaket hitamnya. Dia butuh udara segar.

Satria mengendarai mobilnya menuju rumah Sabil, ya, itu lah udara segar yang dimaksud dengan mencari udara segar. Satria butuh jawaban Sabil, dia harus memastikan apa Sabil menyukainya -walau dia tahu gadis itu menyukainya. Satria ingin Sabil mengatakannya.

Satria menghentikan mobilnya di depan rumah Sabil, memasuki pekarangan yang rindang dan mengetuk pintunya sebanyak lima kali. Tak lama pintu terbuka, Sabil muncul dengan piama doraemon, tangannya memegang sendok berwarna cokelat -yang Satria yakini merupakan sisa es krim yang baru dimakan Sabil.

"Eh? Kok ke sini gak bilang-bilang? Masuk deh," Sabil membuka pintunya lebih lebar, membiarkan Satria untuk masuk.

Saat melihat es krim yang berada di meja ruang santai Satria tahu, tebakannya benar. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa putih, "Mama ke mana?"

Sabil mengendikkan bahunya, "Arisan. Gak tahu deh pulangnya kapan."

Satria mengangguk, menepuk tempat kosong di sampingnya. "Sini Bil, ada yang mau gue omongin."

Sabil mengernyit, tapi mengikuti perintahnya. "Apa?"

"Lo suka gue?"

Sabil langsung tersedak karena pertanyaan itu. "Kok ... tiba-tiba?"

Satria tersenyum kecil, kali ini dia memilih menatap layar televisi. Benda kotak itu tengah menampilkan film dokumenter One Direction. Bahkan walau tak diinginkan, Satria hafal film tersebut.

"Gue butuh memastikan sesuatu," Satria menoleh. Sabil tengah memainkan jarinya, "Gue ... bahkan lo tahu hal itu dari awal. Dan, gue rasa sampai saat ini pun gak berubah. Bahkan malah semakin membesar."

Senyum Satria tercipta, sebuah senyum simpul. "Gue kira udah berubah."

Sabil menggeleng, "Lo kira bakal semudah itu. Sekarang boleh gue yang nanya?"

Walau ragu, Satria mengangguk.

Sabil menarik napas, "So tell me, did you still love her?"

Satria memejamkan matanya. "Gue gak tahu. Ini rumit."

Sabil menghela napas yang terasa menyakitkan. Dia tahu, dia tahu jika Satria masih memiliki rasa itu untuk gadis di masa lalunya. Harusnya Sabil lebih tahu diri.

SpacesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang