I'm Alex

4.3K 406 8
                                    

Sabtu pagi dan Sabil telah berada di kafe milik Olin. Dengan celana jeans hitam dan kaus raglan berwarna biru, Sabil langsung menarik apron dengan namanya di pojok kiri atas. Kafe masih belum buka, beberapa pekerja lain tengah membersihkan kafe. Sabil sendiri tengah membersihkan meja.

"Halo," Sabil menoleh, menadapati Olin tengah berdiri di dekat pintu. Sepupunya itu menggunakan baju tidur dengan sweater biru tua di luarnya.

"Tumben ke sini, ada apa?" Sabil bertanya, mewakili pekerja lain yang ikut penasaran. Olin bukan tipe pemilik kafe yang mau ikut bekerja keras. Dia memang pemilik kafe ini secara hukum, tapi untuk yang mengurusnya adalah Oliver saudara kembarnya yang saat ini tengah berada di kantor.

"Mau memperkenalkan pekerja baru," Olin memberi sinyal pada entah siapa di luar sana. Kemudian seorang lelaki masuk, "Dia Alex."

Dan saat itu juga mulut Sabil terbuka lebar. Dia Alex yang itu. Dan entah bagaimana caranya bisa diterima di kafe ini. Sabil mendengus saat melihat Alex tengah melambaikan tangan padanya dengan tampang datar. Lelaki itu benar-benar menyebalkan.

"Hi, I'm Alex." Dia melambai dengan senyum kecil. "Gue baru di sini, mohon bantuannya." Alex menambahkan sambil membungkuk kecil.

"Oke balik kerja sana kalian," Olin mendorong punggung Alex. Kemudian dia menatap jam tangannya, "Oke gue pergi dulu. Ciao, adios, bye bye!"

Sabil hanya dapat menggeleng pelan, Olin benar-benar membuatnya malu. Entah bagaimana gadis itu bisa menjadi artis, oh Sabil lupa, Olin merupakan ratu drama sejati. Dengan mudah dia dapat mengeluarkan air mata palsu. Dan banyak orang yang tertipu oleh kecantikan wajahnya.

"Hallo," Sabil tak mengindahkan sapaan Alex. Dia hanya kembali bekerja.

Alex menatap gadis di depannya dengan senyum kecil, baru kali ini seorang gadis dapat membuatnya penasaran. Gadis kecil di depannya benar-benar telah membuat rasa ingin tahunya membuncah. Kalau dilihat, tak ada yang spesial dari gadis ini. Rambut hitam panjangnya bergelombang di bawahnya. Matanya bulat dengan alis yang melengkung sempurna. Hidungnya kecil dengan pipi tembam kemerahan. Dia tak tinggi semampai seperti mantan pacar Alex sebelumnya, tinggi gadis ini malah tak sampai bahunya. Dia juga tak modis, lebih menyukai menggunakan jeans. Intinya gadis di depannya benar-benar berbeda.

"Hei anak baru! Jangan liatin Sabil aja, kerja sana!" Rio berteriak dari balik meja bar. Sabil bahkan tak dapat menahan tawanya, dia mendongak. "Sana pergi, beresin piring sama gelas." Sabil mengusir sambil menggibaskan tangannya.

Bukannya marah, dia malah tersenyum kepada Sabil. Alex bahkan terkekeh melihat tampang bingung dari gadis kecil itu. Setelah menepuk kepala gadis itu beberapa kali, Alex memutuskan untuk beranjak dari tempatnya menuju dapur. Alex salah ketika mengira hanya ada beberapa piring yang harus dilakukan. Kenyataannya adalah puluhan piring yang menumpuk tinggi, piring-piring yang masih basah.

"Di lap dulu ya, Lex." Riska yang tengah mencuci sayuran berujar. Alex menatap gadis itu sejenak kemudian mendengus, setidaknya dia hanya perlu mengeringkan piring dan menaruhnya di rak.

Pukul sembilan tepat kafe dibuka, dengan cepat para pekerja -termasuk Alex dan Sabil- berdiri berjajar di depan pintu masuk. Beberapa pelanggan telah mengantri, saat melihat Alex -kebanyakan pelanggan merupakan perempuan- mereka langsung memekik tertahan. Kelebihan kafe milik Olin adalah para pelayan yang cantik dan tampan yang siap memanjakan mata pelanggan. Belum lagi makanan yang lezat dan harga yang terjangkau membuat kafe itu menjadi favorit anak muda untuk menghabiskan waktu.

Hari yang panjang untuk Sabil, waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh saat pelanggan terakhir keluar dari kafe. Dia terduduk di lantai, mencoba untuk meluruskan kakinya. Rio datang dengan segelas teh hangat dan sepiring roti isi yang diberikan pada Sabil. Dia memang tengah membagikan roti dan teh pada tiap pekerja.

"Makasih, Yo," ujar Sabil lelah. Rio mengangguk kecil, "Sama-sama. Kita sudah bekerja keras hari ini."

Sabil tersenyum kecil sambil menyesap teh hangatnya, kemudian dia mulai mengunyah roti isi miliknya. Dia menoleh saat seseorang melemparinya dengan tisu. Dengan pandangan tajam dia berbalik, mendapati Alex tersenyum iseng padanya. Harusnya Sabil tahu itu adalah Alex, jadi Sabil memilih berbalik dan meneruskan makannya. Setelah selesai dia berdiri dan menepuk celananya beberapa kali, Sabil berjalan menuju dapur dan mencuci piring, kemudian membuang gelas kertas miliknya.

"Lo pulang sama siapa?" Alex bertanya, membuat Sabil berjengit kaget. "Sejak kapan lo di sana?" Tanyanya sambil memegang dadanya.

"Gak penting, jadi lo bakal pulang sama siapa?" Alex mengulang pertanyaannya. Sabil berdecak, "Sama manusia dan itu sama sekali bukan urusan lo."

Alex mendengus, dia tahu sejak awal gadis di depannya ini tak akan mudah dibuat terkesan. Alex kembali memutar otak, mencari cara agar dia dapat mengantar gadis ini pulang. Tanpa disadari, Sabil telah keluar dari kafe. Sambil menatap ponselnya dia berjalan menuju halte dekat kafe. Sabil mengetuk layar ponselnya beberapa kali, kebiasaannya saat menunggu seseorang. Senyumnya terbit saat sebuah mobil sedang hitam berhenti di depannya. Satria keluar dari mobilnya dengan jaket hitamnya. Sebuah senyum terbit di bibirnya, "Udah nunggu lama?"

Sabil menggeleng kecil, "Gak sampe sepuluh menit kok."

Kemudian seperti biasa, Satria membukakan pintu untuk Sabil. Lelaki itu masih tersenyum saat menutup pintu penumpang, semakin hari rasa nyaman itu tak dapat ia pungkiri. Dan Satria menyukai sensasi nyaman yang ditimbulkan saat mereka bersama. Berbeda ketika bersama Yolanda, selalu ada kupu-kupu yang membuat dadanya berdegup. Sedangkan ketika bersama Sabil, rasanya hangat. Ketika menyentuh tangan Sabil, kehangatan itu menyeruak hingga dadanya.

"Mau makan dulu?" Satria melirik lewat ujung matanya. Sabil menaruh jari telunjuknya di depan dagu, "Udah makan roti isi sih tadi, cuma masih laper."

"Perut karet dasar," ledek Satria. Sabil mendengus kesal, "Rese'! Kalo gitu ngapain nawarin makan coba?"

Tangan Satria terulur untuk mencubit pipi kanannya. Membuat Sabil mengaduh karenanya. Tak ada panggilan sayang, hanya memanggil nama masing-masing. Tak ada ciuman mesra, hanya pelukan yang mewakili semua rasa yang ada. Sabil menahan napas, perasaan apa? Bahkan hingga saat ini tak ada satu pun diantara mereka yang pernah mengucapkan kata suka atau pun sayang.

"Kok diem?" Satria menaikkan satu alisnya, bingung. Sabil menggeleng kecil, "Gak apa. Bingung aja mau ngomong apa."

Satria tahu Sabil telah berbohong, dia tahu pasti saat Sabil berbohong gadis itu tak akan berani menatap lawan bicaranya. Suaranya pun akan mengecil saat dia berbohong. Tapi Satria hanya diam, dia mulai berbicara tentang apa pun yang dia lihat hingga senyum Sabil terbentuk sempurna. Dan Satria ikut tersenyum melihatnya.

*

Alex menggigit roti isi miliknya dengan kesal, dia menatap ujung jalan dengan marah. Satria yang membukakan pintu untuk Sabil membuatnya marah. Dia terbakar cemburu. Dia mengira gosip tentang keduanya di sekolah hanya lah isapan jempot belaka, tapi setelah melihatnya dengan kedua matanya kini Alex percaya bahwa itu benar. Dan dia membenci fakta itu.

Alex kembali ke pelataran parkir motor dan menaiki ninja merah miliknya. Dengan pikiran yang kalut dia mempercepat laju motornya. Untung lah malam itu lumayan sepi, jadi tak ada korban yang akan disebabkan oleh kecepatan motor Alex.

Bahkan udara malam saat itu tak dapat mendinginkan dadanya yang terbakar api cemburu. Alex menggeram di balik helmet putihnya, pun dia kembali menarik gas motornya hingga kecepatan maksimal.

* * *

Halo! Gue balik, apa kabar? Gimana puasanya? Masih minggu pertama, lho jangan putus asa ya! Semangat!
Yo jangan cuma menjalankan yang wajib yang sunnah juga dijalanin yak xD. Jangan cuma tidurnya ya, hhaha xD
Salam,
-Ritonella.

SpacesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang