You Can Count On Me

4.4K 395 5
                                    

Sabil menghela, hari ini rasanya penat sekali. Dia menyandarkan tubuhnya ke pohon rindang di belakangnya. Matanya menerawang, mengingat percakapannya dengan Satria beberapa minggu lalu. Waktu terasa cepat berlalu, tapi dia masih dapat mengingat jelas perkataan, bahkan nada suara Satria. Walau saat itu suaranya terdengar tegas dan jelas, tak dapat dipungkiri terdapat nada khawatir dan memohon dalam suara Satria kala itu. Lagi, ia menghela kali ini tangan kanannya menepuk dadanya, di sana rasanya sakit dan sesak sekali. Bahkan dia tak dapat menahannya lagi.

Dengan kasar Sabil menghapus air matanya, entah sejak kapan air matanya telah mengalir. Dia berdecak, harusnya tidak seperti ini 'kan? Dia harus kuat. Tidak boleh terlihat lemah sedikit pun. Tidak boleh.

"Kalau lo mau nangis, nangis aja. Gak usah di tahan-tahan. Sakit 'kan kalo di tahan?" Sebuah suara membuat Sabil menoleh. Dia, Alex. Lelaki itu tengah menatapnya dengan tatapan lembut, bahkan senyumnya terlihat tulus. Tapi itu semua malah membuat dia mendengus, "Kata seseorang yang seenaknya merenggut ciuman pertama di bibir gue. Makasih, sarannya."

Kemudian dia beranjak, namun Alex lebih cepat. Tangan lelaki itu langsung menarik pergelangan tangan Sabil. Tatap matanya tajam, "Gue serius. Kalo lo mau nangis, nangis aja. Ngapain sih lo tahan-tahan? Gue di sini. Lo bisa bersandar sama gue, you can count on me, you know?"

Kata-kata Alex terdengar terlalu manis, bahkan di telinga Sabil sekali pun. Benar-benar manis, baru kali ini ada seseorang yang dapat membuatnya mengeluarkan air matanya. Bahkan di depan Sava dia tak pernah menangis karena masalah pribadi, paling hanya karena film yang mereka tonton. Bukan karena Sabil tak ingin, dia hanya tak bisa. Sabil tak bisa begitu saja menangis di depan orang lain, karena itu membuatnya merasa lebih berat dari sebelumnya. Saat dia menangis dan menceritakan masalahnya pada orang lain, Sabil merasa dia malah memberikan masalahnya pada orang lain. Hingga, nantinya orang tersebut akan memikirkannya. Sabil tak ingin itu terjadi. Baginya, luka dan kesedihan bukan lah sesuatu yang harus dia bagi dengan orang lain. Itu semua cukup untuk dia simpan untuk dirinya sendiri. Tawa dan kebahagiaan lah yang akan dia berikan pada orang sekitarnya. Hanya itu.

Alex menepuk puncak kepala Sabil. "Gak apa, keluarin aja. Nangis aja."

Dan untuk semua tembok yang dia bangun kembali, saat itu semuanya runtuh. Untuk pertama kalinya, Sabil menangis di depan orang lain. Dan kali ini, di depan seorang Alex.

Alex sendiri hanya membiarkan gadis dihadapannya menangis, walau sejujurnya hal itu membuat dadanya sakit. Mengetahui bahwa seseorang yang dia sukai menangis karena hal yang tak diketahuinya membuat dia marah, dia merasa tak berguna. Butuh waktu hingga setengah jam sampai tangisan Sabil berhenti. Dia akhirnya tenang, mereka pun telah duduk kembali sambil bersandar di pohon.

"Mau cerita?" Alex bertanya dengan nada lembut. Tentu hal tersebut sangat jarang terjadi. "Oh, kalau lo gak keberatan tentunya," Alex menambahkan, kali ini dia tak ingin menambah kekesalan Sabil.

Sabil menatapnya, tiga detik. Alex bahkan menghitung tiap detik itu, karena Alex takut. Takut jika ia tidak menghitungnya ia akan lupa dan kejadian beberapa waktu lalu terulang.

"Ehm? Gue harus ke kamar mandi, dah!" Sabil langsung berdiri, membersihkan belakang roknya kemudian berjalan menjauhi Alex.

Sedangkan Alex hanya tersenyum, dia tahu ini semua menyangkut tentang Satria. Tapi gadis itu malah menyembunyikannya.

"Apa gue harus nonjok Satria ya? Satu atau dua kali mungkin," Alex menggumam. Dia kembali menyandarkan tubuhnya di pohon dengan tangan disilangkan di belakang kepalanya. "Tapi kalo gue nonjok dia, bukan cuma gue yang abis. Keluarga gue bisa kena masalah juga. Hah, kenapa Satria harus dari keluarga Herdian, sih? Menyebalkan." Alex sekarang mulai menutup matanya, berusaha untuk tidak peduli.

SpacesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang