Her Side

3.6K 347 5
                                    

"Jadi, mana yang akan nona gunakan?" Ujar seorang pelayan dengan menunjukkan dua buah gaun yang di pegang oleh dua orang pelayan lain di sisi kiri dan kanan. Satu berwarna merah muda dan yang satunya berwarna hijau.

Gadis yang tengah duduk di sofa putih itu tampak menilai, tatapannya bergantian dari gaun berwarna merah muda dan hijau. Telunjuknya mengelus dagunya, menilai. Menghembuskan napas, "Aku akan memakai gaun merah muda itu."

Tiga orang pelayan di depannya pun mengangguk kemudian membungkuk sedikit, undur diri. Pun gadis itu menoleh, "Apa aku memiliki jadwal lain? Jika tidak, aku ingin pulang. Makan, kemudian tidur."

Hans yang berada di sampingnya menggeleng, setelah melihat buku kecil di saku jas hitamnya. "Tidak, nona. Apa yang ingin anda makan?"

Lagi, gadis itu mengelus dagunya dengan telunjuk. "Pizza. Aku mau pizza dan es krim. Juga kentang goreng."

Hans berkedip cepat. "Tapi, nona itu-"

"Aku mau itu, pesankan saja oke? Oh, lupa untuk memanggilku Yolanda saja?" Matanya menyipit ke arah Hans yang langsung menggaruk tengkuknya. Dia membungkuk, "Maaf nona, saya lupa. Lagi pula, rasanya sangat tak sopan untuk memanggil nama anda di depan yang lain."

Dengan cepat Yolanda mengibaskan tangannya. "Baik lah, kalau begitu jika hanya ada kita berdua, panggil aku Yolanda saja, oke?"

Dengan susah payah Hans mengangguk. "Baik nona."

"Kalau begitu, mari kita pergi dari sini. Kulitku mulai terasa kering, jangan lupa pesananku tadi." Yolanda menoleh, mengingatkan Hans yang langsung mengangguk. "Tentu," setelah itu dia meraih ponselnya dan menghubungi restoran cepat saji.

Setelah itu mereka pun berjalan keluar dari rumah mode tersebut, memasuki sebuah mobil mewah yang sudah menunggu keduanya di depan rumah mode. Hans dengan cekatan membukakan pintu untuk Yolanda, kemudian membuka pintu depan untuk dirinya sendiri.

"Kita pulang," perintah Yolanda. Supir tersebut pun mengangguk dan mulai menjalankan mobil dengan kecepatan standar.

Yolanda menghela, menatap jalanan Jakarta yang tak banyak berubah. Masih seperti dua tahun lalu. Masih macet, panas dan banyak penjual di pinggir jalan. Tapi itu lah yang ia rindukan. Sesuatu yang tak bisa ia temukan di tempat lain. Sesuatu yang menjadi alasannya untuk pulang.

Satria. Nama itu terus berada di dalam pikirannya semenjak ia menginjakkan kaki di Jakarta. Apa kabar lelaki itu? Yolanda tak tahu. Dia belum pernah bertemu dengan Satria lagi, jadwalnya benar-benar padat, belum lagi dia tak tahu di mana Satria tinggal. Waktu benar-benar cepat berubah. Dan Yolanda tahu, mungkin nanti Satria akan membencinya. Dia mendesah, memejamkan matanya lelah, dia sudah meninggalkan Satria tanpa alasan dan menghilang begitu saja. Apa ia masih termaafkan?

"Nona, kita sudah sampai," suara Hans membuatnya tersadar dan keluar dari mobil putih tersebut.

Yolanda berjalan memasuki rumah putih besarnya. Saat memasuki rumah tersebut, para pelayan langsung membungkuk hormat yang dibalas oleh Yolanda dengan anggukan kecil.

"Bawakan pesananku ke kamar oke? Aku ingin makan di sana," setelah mengucapkan hal tersebut pada Hans dia pun berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Setelah berbelok ke kanan, terdapat sebuah pintu kayu, ia membuka pintunya kemudian berjalan menuju kasur besarnya untuk merebahkan tubuhnya.

"Lelah sekali," desahnya. Dia meraih remote dan menyalakan televisi di hadapannya. Mengganti dengan channel Disney yang tengah menayangkan Big Hero Six. Senyum terbit saat melihat film favoritnya di tayangkan.

Saat ia tengah sibuk dengan acaranya, terdengar ketukan pintu. Di ketukan ketiga, seorang pelayan membuka pintu, berjalan menuju tempat tidur Yolanda. "Ini nona," dia pun menaruh kardus pizza, kentang goreng dan es krim rasa oreo di atas meja kecil samping tempat tidurnya. Setelah itu dia undur diri dan meninggalkan Yolanda dengan kesenangan kecilnya.

* * *

Kadang Yolanda iri, iri dengan kehidupan orang-orang yang dapat bermain dengan bebasnya. Remaja normal yang tak harus merisaukan kedatangan ke pesta resmi. Remaja normal yang bisa makan di mcdonald, pergi ke mall atau pun pergi ke karaoke tanpa harus menjaga sikap putri. Tapi dia tak bisa seperti itu.

Hari ini, dia berada di toko buku. Dan ini semua merupakan sebuah keajaiban karena caranya untuk kabur berhasil. Dia meraih beberapa novel dan komik, memasukkan buku yang menurutnya seru ke dalam kantung belanjanya. Saat berkeliling itu lah, dia melihat seorang yang dia kenal.

Mirip Satria.

Dia ingin melangkah maju, namun seorang gadis yang datang membuatnya berhenti di tempat. Gadis itu menunjukkan sesuatu yang membuat lelaki yang mirip Satria itu terkekeh. Jantungnya berdegup, itu Satria-nya. Tapi seakan ada lem yang menempelkan kakinya dengan lantai toko buku, Yolanda malah terdiam di tempatnya.

Dan saat itu juga dadanya terasa sesak. Dia berjongkok, memeluk kakinya dengan kedua tangan. Berharap dengan posisi seperti itu sesaknya akan menghilang. Tapi tidak, sesak itu malah semakin menjadi.

"Nona?" Ia mendongak, mendapati Hans menatapnya khawatir. "Kenapa nona seperti ini? Apa ada yang melukai nona?"

Yolanda tersenyum, lelah. Pun dia memberikan kantung belanjanya pada Hans. "Tolong urus itu dan aku akan menunggu di mobil." Setelah mengatakannya ia pun berjalan keluar dari toko buku.

Hans mendesah, nonanya terlalu banyak memendam semuanya sendirian. Kadang Hans takut, suatu hari nanti emosi itu akan meluap tanpa dapat ditahan. Dan itu bukan lah sesuatu yang bagus. Hans berdecak, lebih baik ia menyelesaikan semuanya sekarang. Jadi setelah menyelesaikan pembayaran, ia pun bergegas kembali ke mobil.

Nonanya memang ada di sana, namun sinar matanya redup. Hans tersenyum, memberikan kantung plastik ke pangkuan nonanya. "Ini, baca saja saat di mobil." Setelah itu dia melangkah menuju bangku penumpang di samping supir.

Sepanjang perjalanan itu, tak ada satu pun yang berbicara.

* * *

Malam ini merupakan acara pembukaan gedung perkantoran baru milik ayahnya. Yolanda menggunakan gaun merah muda panjang tanpa lengan yang di tambahkan bolero putih berbulu sintetis. Rambutnya digelung ke atas, membuat tulang rahangnya terlihat jelas. Malam itu, dia terlihat anggun dan mempesona.

Pesta terlihat membosankan, seperti pesta-pesta sebelumnya. Tak ada yang menarik, semua orang berpakaian rapi ini membosankan. Setelah memilih beberapa jenis makanan dan mengambil segelas air mineral dia pun memilih duduk di salah satu meja paling pojok.

Di atas panggung, ayahnya tengah melakukan pembukaan. Sedangkan ia malah ditemani oleh Hans, seorang pelayan wanita bernama Daisy juga dua orang bodyguard. Malam ini, Yolanda berharap dia adalah orang lain.

Malam minggu ini, dia ingin menghabiskannya dengan menonton di bioskop, bukan malah berdiam di pesta tak jelas seperti ini. Mungkin ayahnya lupa jika dia masih delapan belad tahun dan tidak tertarik dengan bisnis. Namun baik Yolanda mau pun ayahnya tahu, mereka tak memiliki pilihan lain karena Yolanda adalah pewaris tunggal.

Dia benar-benar berharap dapat bertukar dengan orang lain.

* * *

Yah begini, gak jelas. Maaf. Kalo ada typo, apalagi, maaf bgt.
Gue mau minta tolong boleh? Tolong isi kolom komentar kalian tentang cerita ini. Terus menurut kalian kekurangan sama kelebihannya apa. Udah itu aja, makasih :)

Salam,
-Ritonella.

SpacesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang