New Beginning

5.2K 426 1
                                    

Sabil menghela dengan berlebihan. Dia menutup pintu lokernya sambil menguap, liburannya rasanya kurang banyak. Sabil masih ingin bersantai, dia masih ingin tidur sampai siang hari. Tapi kenyataannya adalah liburan lalu dia malah harus bekerja di butik ibunya dari pagi hingga petang, saat malam hari dia bekerja di kafe kak Olin -sepupunya. Intinya, liburan kemarin dia benar-benar bekerja. Untuk apa? Untuk biaya kuliah, sebenarnya Sabil telah bekerja sambilan sejak SMP, awalnya hanya iseng namun kemudian menjadi serius karena dia ingin kuliah di luar negeri. Walau belum pasti ingin mengambil jurusan apa, Sabil hanya tahu dia ingin pergi ke luar negeri dan meneruskan pendidikannya di sana.

"Bil," Sava menepuk pundaknya dari belakang. Sebenarnya Sabil malas menoleh, tapi dia tetap melakukannya -mungkin karena refleks. "Parah lo, liburan bukannya ke rumah gue, malah sibuk kerja. Udah gitu skype gue gak diangkat coba, parah."

"Bawel banget sih lo. Gue ngantuk," kata Sabil sambil menutup mulut Sava yang masih saja mengoceh tidak jelas. Sava menggigit tangan Sabil, "Emang enak."

"Najis jorok banget sih lo," dengan sengaja Sabil melap tangannya di seragam Sava.

"Bodo amat," balas Sava sambil menjulurkan lidahnya. Sabil berdecak, "Najis pake julurin lidah kek guk-guk. Sok imut lo."

"Ye gue mah emang imut," Sava kali ini malah sengaja membuat ekspresi duck face. Sabil langsung tertawa melihatnya kemudian berpura-pura mengeluarkan suara muntahan.

Persahabatan mereka memang aneh, pembicaraan tidak jelas selalu terjadi. Tingkah konyol, bahkan celaan tidak bisa dihindari. Keduanya sudah terlalu terbiasa dengan keberadaan satu sama lain, hingga jika salah satu tak ada akan terasa aneh. Baik Sabil mau pun Sava tak pernah sakit hati dengan celaan yang keluar dari mulut masing-masing. Malah menurut keduanya terasa aneh jika salah satu dari mereka memuji yang lain. Menurut keduanya celaan merupakan kata lain dari pujian.

"By the way gimana kalo pulang sekolah kita ke Rintik Cafe?" Saran Sava sambil merangkul Sabil menuju kelas mereka. Sabil menaruh jarinya di dagu -berfikir, "Itu apa deh?"

Sava memutar manik matanya, "Ya cafe yang baru dibuka di samping photocopy itu, Bil." Sabil membulatkan mulutnya, "Ya udah. Lo yang bayar, 'kan?"

"Iya elah," Sabil langsung bersorak kecil. Tak ada makanan yang lebih nikmat dibanding makanan gratis, "Lo emang sahabat gue deh, Va."

"Parah, lo cuma anggep gue sahabat pas ada makanan gratis? Ouch, you hurt my heart." Sava memegang dadanya dengan ekspresi tersakiti.

"Lebay," cibir Sabil kemudian mendahului Sava memasuki kelas.

Kelas masih sepi pagi ini, hanya ada beberapa anak yang memang terbiasa datang pagi. Sabil sendiri memilih duduk di samping jendela, sedangkan Sava duduk di depannya. Sabil tengah memandang ke lapangan saat matanya menangkap sosok Satria. Semakin hari lelaki itu semakin populer saja, terlebih kini dia merupakan seorang ketua osis. Sabil menghela, dia menatap punggung Sava, sahabatnya itu belum mengetahui perasaannya. Sabil sendiri enggan memberitahukannya, dia tahu Sava tak akan merestui hubungan mereka. Astaga, kini ia berlaga seakan Satria menyukainya saja.

"Bil, ke bawah yok. Gue laper banget," ajak Sava. Sabil mengangguk, "Omong-omong gue lupa ucapin selamat anniversary buat orang tua lo."

Sava langsung berhenti di tempatnya, "Gak usah ngomongin itu deh." Kemudian, "Gue jadi badmood."

Sabil mengernyit, memang apa salahnya? Dia 'kan hanya mengatakan selamat kepada orang tua Sava, kenapa tiba-tiba temannya ini jadi sensitif? Sepertinya ada sesuatu yang tidak diceritakan oleh Sava. Sabil sendiri hanya mengangkat bahunya, mencoba tidak peduli walau dia sangat penasaran.

SpacesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang