Not a Big Deal

5K 511 1
                                    

Satria benci bulan desember. Ini semua karena tradisi memberi cokelat di awal bulan desember. Tidak, dia benci cokelat. Cokelat membuat tubuhnya kemerahan dan gatal. Dan butuh waktu seminggu untuk bintik merah itu menghilang, parahnya walau bintik merahnya menghilang rasa gatal itu masih dapat ia rasakan untuk beberapa hari ke depan.

Satria baru saja masuk kelas saat mejanya sudah menjadi gunung cokelat. Bahkan walau cokelat itu dibungkus Satria tetap tahu apa yang ada di dalamnya, dia menghela. Bahkan dia tak ingin menyentuhnya. Membayangkan apa yang ada di dalamnya dapat membuat kulitnya terasa gatal tak tertahankan.

"Et dah, di meja lo cuma ada hadiah dari fans lo kali, bukan alien." Doni menepuk bahunya dengan cengiran jail, "Woy! Ada yang mau gak nih? Cuma-cuma buat kalian semua dan kalian boleh milih yang mana aja, lebih dari satu juga gak apa. Pokoknya yang penting meja Satria bersih."

Satria tersenyum kecil, "Thanks, Dan."

"Don't thank me now, hari ini masih panjang Sat. Cewek-cewek itu bakal terus ngasih cokelat ke elo dan hal-hal yang berbau itu lah. Berjuang oke?" Satria mengangguk, kemudian duduk di mejanya setelah teman-temannya mengambil alih semua hadiah tanpa nama itu.

"Gila! Gue dapet lava cake!" Surya yang duduk di pojok berteriak heboh, membuat yang mendengarnya tertawa. Putra menyahut, "Gue dapet macaron!"

Dan teriakan demi teriakan bersautan mengenai hadiah -Satria- yang mereka dapatkan. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya, "Gue gak ngerti kenapa lo nolak hadiah lezat ini Sat. Tapi makasih banget karena lo gue bisa makan kue mahal."

Satria tertawa mendengar perkataan Joko. Yah, tidak buruk juga dia bisa memberikan kebahagian kecil pada teman-temannya. Sepertinya hari ini dia akan menghabiskan waktu di atap sekolah saja, disana pasti lebih tenang.

"By the way, itu kado buat siapa Sat?" Doni mengerling ke arah kantung kertas dengan kotak besar di dalamnya. Bahkan tingginya mencapai tinggi Satria saat duduk. Satria hanya tersenyum, "Orang lah masa setan."

*

Tak ada yang lebih melegakan selain bersantai di tempat yang tak terjangkau oleh orang lain. Sejak tadi Satria sudah mengirim pesan pada Sabil, tapi gadis itu belum muncul juga. Satria bersandar pada pagar pembatas dan menatap pintu yang tak juga bergerak. Dia menghela, menatap kado yang berada di sampingnya.

"Lama," gumamnya kecil. Tapi kemudian pintu itu terbuka, Sabil berlari kecil ke arahnya dengan kepayahan. "Sorry telat, di bawah rame banget. Anak cewek pada nyariin lo tuh, belom lagi gue harus alesan ke Sava."

Satria hanya mengangguk kecil, kemudian meraih bungkusan cokelat yang sejak tadi menjadi perhatian di kelasnya. Tangannya terulur, memberikannya pada Sabil, "Buat lo."

Sabil mengernyit, "Apaan nih?"

Lelaki di depannya itu hanya mengangkat bahunya, "Bukanya di rumah aja ya. Jangan bilang ama Sava juga."

"Sejak kapan lo jadi sok misterius gini coba?" Cibir Sabil, sementara yang disindir malah tersenyum jail. "Sejak kapan lo peduli banget sama gue?"

Sabil memutar manik matanya, jengah. "Yah, karena lo ngasih hadiah gue berusaha untuk sedikit peduli sama lo."

Bohong. Sabil sebenarnya benar-benar peduli pada Satria. Karena Sabil menyukai Satria. Beberapa hari ini dia memang di terjang dilema, tapi pada akhirnya dia sadar. Semakin dihindari rasa yang ada malah semakin membesar. Sabil tahu pasti suatu saat mungkin rasa ini akan menyakitinya tapi tak apa, selama dia masih bisa berada di samping Satria rasanya tak masalah.

Sabil mengerjap, "Oh. Nih buat lo." Dia memberikan tiga bungkus nori roll pada Satria. Satria mengernyit, "Makasih."

"Oh gue harus balik ke kelas. Duluan ya, Sat. Makasih banyak buat semuanya," Sabil pamit dan memberikan senyum pada Satria yang mengangguk.

"Its not a big deal," balas Satria sebelum Sabil menghilang di balik pintu. Dia berbalik, kembali menatap lapangan di depannya. Tubuhnya bersandar, tangannya kemudian merogoh ponselnya.

"Its been a long time and I never see you around. Where are you, where have you been, I miss you." Satria menghela sambil mengelus ponselnya. Disana ada foto dia dan seorang gadis yang mencium pipinya. Mereka terlihat dekat dan kenyataannya memang begitu.

"Menurut lo gimana? Apa gue harus move kaya kata Hisyam. Gue capek nunggu lo yang gak jelas ada di mana, Yol. Lo bahkan gak ngehubungin gue padahal lo tau nomer gue. Lo menghilang gitu aja. Saat ini ... apa gue harus nyerah?" Satria bicara dengan gambar di ponselnya. Tapi tak ada yang menjawab, dia mendongak mendapati langit cerah di sana.

Dia menutup kelopak matanya, "Gue mau move. Dan semoga ini bukan keputusan yang salah."

"Seenggaknya gue harus nyoba," tekad Satria sudah bulat saat ini. Pun dia menghapus gambar yang sejak tadi dilihatnya, "Goodbye first love."

Doni menatap kantung kertas yang dibawa Sabil kemudian tersenyum, "Ternyata temen gue normal."

"Eh, kenapa Don?" Doni menggeleng sambil menatap lekat ke arah Sabil yang terlihat kesulitan dengan bawaannya itu. Sementara Putra yang berdiri di sampingnya hanya mengernyit tak mengerti, akhirnya dia hanya menggendikkan bahu.

*

Sabil menatap hadiah yang diberikan pada Satria siang tadi. Hadiah itu kini berada di depannya sementara Sabil malah menghela dan menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Terlalu banyak hal yang dia pikirkan saat ini. Seperti, alasan Satria memberikan hadiah yang entah apa isinya itu. Apa karena ucapan terima kasih? Atau karena dia su... ah! Tidak, pasti bukan. Mana mungkin Satria menyukainya kan?

Sabil memegang pipinya yang terasa panas, pun sekarang pipinya menjadi merah. Dia pun menarik napas, kemudian duduk menyila. "Oke, apa pun elo. Gue harap ini bukan prank, alright let see."

Perlahan Sabil membuka bungkusan cokelat di dalamnya. Bungkusan itu besar, tingginya mungkin sekitar satu meter lebarnya sama dengan kedua tangannya saat di rentangkan. Bungkusan yang besar, berat dan Sabil rasa itu adalah boneka. Semoga saja bukan boneka chukky atau Susan atau sejenisnya. Setelah semuanya terbuka mata Sabil langsung terbelalak, di depannya ada boneka Bay Max super besar. Dengan cepat Sabil mengeluarkannya dari kardus. Sabil langsung memeluk boneka itu.

"Hello, I am Bay Max your personal health assistant," wajah Sabil semakin cerah saat mendengar suara boneka itu. Sepertinya dia harus mengucapkan terima kasih lagi pada Satria, mungkin meneleponnya.

Namun sebelum dia menghubungi Satria, lelaki itu sudah menghubunginya lebih dahulu. Sabil tersenyum, "HAI!"

"Gue tebak lo udah buka hadiahnya, benar kan?" Sabil mengangguk, kemudian teringat Satria tak dapat melihatnya. "Iya udah gue buka! Gila ih gak nyangka bonekanya gede banget. Lo bilang udah ditarik? Lo bohong ya?"

Satria tertawa di ujung sana membuat Sabil mencebik, "Tapi lo percaya kan? Haha."

"Oh ya, makasih ya Sat. Gue suka banget bonekanya," Sabil tersenyum sambil menelusuri bonekanya dengan jari. Benar-benar lembut.

"Its not a big deal, Bil. Gue seneng ngeliat lo seneng," Satria tak tahu jika perkataannya membuat pipi Sabil memerah. Kemudian, "Udah dulu ya Bil, udah waktunya makan malam. Jangan lupa makan lo juga ya. Good night."

Bahkan Sabil belum sempat membalas ucapan selamat malam tapi Satria sudah memutuskan sambungan terlebih dahulu. Sabil menghela tapi sebuah senyum kembali terbit saat melihat boneka putih disampingnya. Sepertinya malam ini dia akan tidur nyenyak.

"Oi! Sabil! Makan dulu woy!" Andre, adiknya yang berumur lima belas memanggil. Sabil mengerang, "Iya!"

Sepertinya dia harus mengesampingkan tidur nyenyaknya. Karena itu akan membutuhkan waktu yang lebih lama.

* * *

1152 words :)
Try to write this lovely story haha. Apa dah gue? Yah pokonya enjoy deh ;)
P.S: Gue ngerasa kurang sreg ama judulnya, ada yg bisa bantu cari judul? Comment below, xoxo. Thank you for being you, xoxo.
Salam,
-Ritonella

SpacesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang