Dont You Ever Hurt Her Again

3.5K 360 8
                                    

Satria berjalan di sepanjang koridor kelas sebelas, namun sosok yang dicarinya tak juga muncul. Semalam dia merasa benar-benar jahat telah melupakan Sabil begitu saja. Parahnya, dia baru ingat tentang gadis itu saat di sekolah. Dan sejak sampai di sekolah juga ia telah merutuki dirinya sendiri. Apa yang dirasakan gadis itu? Apa dia menangis? Apa dia baik-baik saja? Tentu saja tidak, kalau baik-baik saja pasti lah suatu kebohongan.

Saat bel berbunyi, akhirnya Satria menyerah. Ia memutuskan kembali ke kelasnya, pulang nanti ia akan ke rumah Sabil. Satria menghela, ia ingin hari ini cepat berakhir.

Satria berjalan menuju kelasnya dengan gamang, perasaan bersalah itu benar-benar menyiksa batinnya. Hisyam mengernyit ketika Satria duduk di bangkunya dengan mata menerawang. Ia menghela, Hisyam tahu pasti alasan sahabatnya menjadi seperti ini. Yah, entah siapa yang harus disalahkan. Hanya saja yang pasti Sabil lah yang menjadi korban di sini.

"Muka lo, dude, serem abis." Hisyam mencoba bercanda sambil mendorong bahu Satria. Namun sahabatnya itu malah menatapnya tajam, "Gak lucu."

Hisyam mengangkat kedua tangannya, "Oke, gue nyerah. Lo tahu 'kan Sat, gelas yang pecah gak akan lagi sama walau pun lo udah lem pake lem super sekali pun."

Satria mendesah, "Gue tahu."

Hisyam baru akan membuka mulutnya lagi saat Bu Laras masuk ke kelas. Ia mencebik, kemudian mengeluarkan paket fisikanya. Ia benci fisika sebesar rasa bencinya pada tomat.

* * *

Saat bel pulang berdering, Satria langsung merapikan buku dan segala tetek bengek lainnya kemudian berlari menuju parkiran. Ia harus segera menemui Sabil. Butuh waktu lebih lama dari biasanya, mengingat ini hari senin. Sesampainya di depan rumah Sabil, Satria mendapati kardus cokelat di samping tempat sampah. Penasaran, ia menghampiri kardus tersebut.

Satria tersenyum, lemah. Di dalam kardus itu terdapat benda-benda yang pernah ia berikan untuk Sabil. Ia menghela kemudian bangkit dan berjalan menuju pintu depan. Mengetuk sebanyak lima kali hingga terdengar sahutan, "Sebentar."

"Nyari siapa ya?" Bi Inah muncul sambil menatap Satria tak suka. Ia tahu lelaki di depannya ini yang membuat anak asuhnya menangis tak karuan. "Kalau nyari mba Sabil gak ada."

"Kemana?"

"Pergi yang jauh gara-gara mas tuh!" Setelah mengatakan hal itu Bi Inah menutup pintu dengan keras.

Bahkan pengurus rumah tangganya pun tampak tak menyukainya. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada Sabil. Satria mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Sabil namun lagi-lagi nomernya tidak aktif juga berada di luar jangkauan.

Frustasi, ia mengacak rambutnya kesal. Semua jadi begitu rumit akhir-akhir ini. Kalau boleh jujur saat ini Satria merasa dadanya sesak. Dengan langkah pelan ia menyusuri jalan menuju mobilnya.

"Masih punya muka lo nyari Sabil setelah buat dia nangis?" Suara di sampingnya terdengar sinis. Satria menoleh, Alex telah berdiri di sampingnya dengan senyum sinis.

"Dia… nangis?"

"Ya, menurut lo aja! Dasar brengsek!" Alex tak kuasa menahan amarahnya, dengan sekuat tenaga ia melayangkan tinjunya ke pipi Satria.

Satria terjatuh, ia mendesis sambil menyeka sudut bibirnya yang berdarah. "Apa masalah lo sebenarnya?"

Alex maju, menarik kerah Satria. "Gue udah bilang kalau lo bikin dia nangis gue gak akan segan-segan ngelakuin hal seperti ini ke elo. Bahkan ini gak ada apa-apanya dari pada sakit hati Sabil. Dan mulai sekarang, jauhin Sabil." Alex menghempas tubuh Satria hingga lelaki itu kini menyentuh aspal.

Satria menatap Alex, kesal. Ia bangkit dengan cepat dan membalas tinju Alex yang tepat mengenai hidungnya. "Lo pikir gue mau bikin dia nangis? Lo pikir gue seneng ngeliat dia nangis?"

Alex menyeka darahnya, kemudian tertawa datar. "Tapi lo bikin dia nangis, brengsek!" Ia kembali melayangkan tinjunya ke perut Satria kali ini.

Satria mundur beberapa langkah, kemudian menunduk. Ia mengerang sambil memegang perutnya. "Lo pikir gue mau liat orang yang gue sayang nangis?"

Alex menegang, Satria sendiri tak sadar dengan kata-katanya. Ia mengerjap, kemudian merasakan letupan di dadanya. Alex menatap Satria tak percaya,  kemudian berjalan ke arah Satria dan berlutut. Kaki kanannya menekan perut Satria hingga lelaki itu mengerang kesakitan.

Alex menunduk, "Kalo lo emang sayang dia lo gak bakal bikin dia nangis." Ia melayangkan tinju lagi. "Kalo lo emang sayang Sabil, dia gak bakal nangis sendirian." Tinju lainnya. "Dan dia gak bakal kaya mayat hidup." Tinju terakhir mengenai pelipis Satria.

"Jadi, jangan sampe gue ngeliat lo deketin Sabil lagi. Terlebih kalau lo bikin dia nangis." Alex menepuk pipi Satria pelan kemudian bangkit dan berjalan menuju motornya.

Ia bahkan tak repot untuk berbalik dan melihat keadaan Satria. Satria sendiri mengerang, menahan sakit di wajah dan perutnya. Ia berusaha bangkit, kemudian dengan tertatih berjalan menuju mobilnya. Kepalanya terasa pening hingga rasanya ia bisa jatuh kapan saja. Namun hingga mencapai mobil ia masih dalam keadaan sadar. Dengan ringkih Satria mengeluarkan ponselnya, menghubungi Hisyam.

"Syam, gue … di depan rumah Sabil. Ada sedikit kecelakaan, tolong ke sini. Dan gak usah bawa kendaraan." Satria langsung memutus sambungan tanpa mendengar  jawaban dari Hisyam. Ia mencoba untuk memejamkan matanya menunggu hingga Hisyam datang.

Ketukan di jendela mobilnya membuat Satria mengerang. Dengan susah payah dia membuka pintu di sampingnya, tak lama Hisyam masuk. Kernyitan di keningnya tampak jelas, "Lo abis berantem sama siapa?"

Dengan cepat Satria mengibaskan tangannya, "Gak penting. Bawa gue ke apartemen Karen aja."

Mata Hisyam membulat, "Wah abis berantem entah sama siapa sekarang lo mau kabur?"

"Ya, asal lo tahu itu lebih baik dari pada kak Virza tahu masalah ini." Satria menatap Hisyam serius. Sahabatnya itu hanya mendengus kemudian mengendarai mobil Satria menuju apartemen Karen.

"Tadi gue ketemu Alex," Hisyam melirik Satria yang tampak menegang beberapa detik. "Bukan dia, 'kan?"

Satria mengangguk, "Bukan."

"Siapa yang lo bohongin sih?"

Satria mendesah, menatap Hisyam yang kini tengah fokus menyetir. "Gue tahu lo peduli, tapi untuk yang satu ini jangan ikut campur. Gue gak mau masalahnya lebih rumit lagi."

Hisyam mendengus, "Sesuka lo aja deh."

Satria hanya mengendikkan bahu sambil menatap jalanan di depannya. Langit telah berwarna oranye saat Satria dan Hisyam berada di depan gedung apartemen. Tanpa memperdulikan pandangan penasaran orang-orang,  keduanya melangkah menuju lift pribadi untuk lantai teratas.

Sesampainya di lantai kamar apartemen Karen, Satria langsung menuju apartemen Karen dan memasukkan sandi kamar apartemen tersebut. Tanpa menunggu waktu lama keduanya masuk ke apartemen Karen. Satria langsung menghempaskan tubuhnya di sofa hitam sedangkan Hisyam berjalan menuju kamar mandi dan mengeluarkan kotak P3K dari balik kaca.

"Tuh obatin luka lo sendiri karena gue gak mau kita terlihat terlalu romantis," bahkan Hisyam bergidik memikirkannya. Satria mendengus kemudian mengobati lukanya sendiri sementara Hisyam mencari makanan untuk dirinya sendiri.

"Emang Karen kemana?"

"Ke Paris," jawab Satria singkat.

Hisyam kembali dengan jus jeruk, "Eh, gue laper. Pesen makanan kek Sat."

Satria menatap tajam Hisyam. "Pesen tinggal pesen elah repot amat."

"Lo yang bayar, 'kan?"

"Hm."

* * *

Sorry ya Sat, muka lo harus babak belur gitu. Salah lo sih nyakitin sabil wkwk
Seneng 'kan lo semua gue update dua kali nih. By the way, gue ada cerita baru judulnya Become a popular star girlfriend. And honestly, I really love my new story, hope that you'll love the story as much as I did. Baca yaa ;) -Become a Popular Star Girlfriend-

Salam,
-Ritonella.

SpacesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang