How We Do It

4.1K 410 9
                                    

Satria baru saja menghempaskan tubuhnya di kasur saat ponselnya berdering minta perhatian. Dengan malas dia mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan tersebut. "Halo?" Satria bahkan tidak mengubah posisinya.

Matanya mengerjap beberapa kali, "Hah? Ke trek? Sekarang? Ngapain, Lex? Lo tahu gue udah gak ngelakuin hal itu sejak kenaikan." Satria terdiam saat mendengar pernyataan Alex. Ekspresinya mengeras, "Oke, gue ke sana sekarang."

Setelah memutuskan panggilan, Satria memakai kembali jaket hitan miliknya. Dengan tergesa ia mengambil kunci motor miliknya, kemudian berjalan menuruni tangga dengan cepat. Sayangnya, kak Virza tengah menonton televisi. Satria langsung terdiam saat mata kak Virza manatapnya tajam.

"Jam berapa ini, Sat?" Tanyanya datar. Satria hanya mengusap tengkuknya, "Setengah dua belas kak."

"Terus kamu mau ke mana?"

Satria mendesah, tak ada gunanya jika berbohong pada kak Virza. "Ke trek kak."

Kak Virza mendesah, "Sejak kapan kamu balapan lagi?"

"Hari ini beda kak," bela Satria. Kak Virza terdiam kemudian melemparkan kunci motornya, "Pake motor kakak aja. Jam satu udah harus sampe rumah."

Satria melongo beberapa saat kemudian tersenyum lebar. Dia langsung menghambur untuk memeluk kak Virza sebelum wajahnya di tahan dengan tangan kanannya. Kak Virza mendesis, "Gak pake pelukan segala, sana buruan."

Satria mengangguk kemudian berjalan menuju motor putih milik kak Virza. Motor yang ditakuti oleh pembalap jalanan. Motor yang menjadi tanda bahwa itu adalah milik kak Virza. Bahkan tak ada yang berani mendekati motor itu saat bertemu di tengah jalan. Katakan, itu adalah motor pemilik penguasa jalanan.

Satria sampai dua belas menit kemudian, suasana yang tadinya ramai langsung terdiam saat melihat motor putih yang dibawa Satria. Begitu pun dengan Alex, tapi saat Satria membuka helmet putihnya orang-orang langsung menghela napas lega.

"Oke, cukup satu putaran aja kaya biasa." Alex berujar, Satria sendiri mengangguk kecil. Bagaimana pun Alex tahu dia pasti akan kalah, tapi dia tak mau menyerah.

Pertandingan dimulai, teriakan menjadi pertanda bahwa kedua motor itu telah melaju kencang. Jalur yang dilalui keduanya tak terlalu sulit, mereka melewati jalanan lurus kemudian berujung dengan terowongan yang memiliki belokan tajam untuk kembali ke tempat semula. Setelah melewati terowongan itu, jalanan kembali lurus dengan beberapa kali polisi tidur. Satria masih memimpin di depan, bahkan sampai melihat tanda finish dia masih memimpin. Dan kemenangan mutlak menjadi milik Satria. Sedangkan Alex hanya dapat memukul motornya sendiri, kesal.

Sorakan langsung memenuhi telinga Satria namun lelaki itu hanya tersenyum kecil. Dia menoleh, mendapati Alex yang menatapnya tak suka.

"Kalo lo sampe berani nyakitin dia, gue pastiin lo bakal masuk rumah sakit. Gue gak bakal peduli lo anak siapa bahkan gak peduli kalau kakak lo bisa aja matahin beberapa tulang gue. Gue gak peduli," Alex berhenti sambil menunjuk dada Satria. Dia menarik napas, "Kalau dia sampe nangis dan lo ngebuang dia gitu aja. Gue pastiin lo bakal nyesel seumur hidup lo."

Satria mengangguk kecil. "Gue pastiin dia gak bakal nangis. Kalau sampe itu terjadi lo boleh ngelakuin apa pun, gue bahkan gak akan nolak."

Alex mengangguk pasti kemudian kembali menyalakan motornya. Dia pun pergi meninggalkan lintasan balap tersebut. Tatapan mata Satria menerawang, dia tak tahu apa yang akan terjadi esok. Hanya saja kalau bisa dia menginginkan kebahagiaan Sabil di atas segalanya. Dia tak ingin merampas senyum bahagia Sabil.

Satria menghela kemudian melajukan motornya kembali. Dalam hati dia meminta maaf pada kak Virza karena akan pulang terlambat. Tapi ada yang harus dipastikannya. Satria semakin melajukan motornya dengan cepat, menembus jalanan ibu kota yang sepi. Satria memilih untuk menitipkan motornya di satpam yang berjaga, dia tak ingin mengganggu tidur orang-orang di sana. Dengan langkah pasti dia berjalan menuju salah satu rumah minimalis, Satria tak melakukan apa pun hanya dia di depan rumah tersebut sambil mendongak.

Lampu kamar gadis itu telah padam, tapi Satria tak ingin beranjak dari sana. Dan tak berapa lama lampu kamarnya menyala, membuat Satria berdiri dengan tegak. Tapi hanya sebentar karena beberapa menit kemudian lampu tersebut kembali padam. Satria mendengus, kemudian mendesah. Lehernya terasa sakit karena terus mendongak, jadi dia memutuskan untuk pulang.

"Makasih ya pak," kata Satria tulus. Dia memberikan beberapa lembar uang sebagai tanda terima kasih, "Tolong diambil aja pak, anggap aja sebagai rasa terima kasih saya karena bapak udak jagain motor saya."

"Makasih ya den," balas satpam tersebut. Satria mengangguk, "Ya sudah saya pamit ya pak."

Setelah mengangguk sopan, Satria kembali menyalakan motornya. Lebih baik dia pulang sekarang. Kak Virza pasti akan marah besar, Satria sendiri hanya berdecak. Biarlah kakaknya itu marah. Lagi, sudah lama dia tak mendapat hukuman aneh dari kak Virza.

*

"Angkat yang tinggi," perintah kak Virza. Satria sendiri hanya dapat melakukan apa yang diperintahkan. Di bahunya terdapat ember yang terisi penuh dengan air. Dan dia berjongkok di atas bangku kayu.

Kak Virza sendiri tengah sibuk makan sarapannya. "Jadi cowok itu harus menepati janji. Udah dikasih kesempatan malah kabur lagi."

Satria tak menjawab dia tengah berusaha sekuat tenaga menahan beban di bahunya. Sudah lebih dari dua jam dia berada di posisi tersebut. Orang tuanya tak akan memprotes karena ini semua sepenuhnya adalah kesalahan dirinya sendiri.

"Kakak, udah dong kasian tahu kak Satria." Sava datang sambil menarik tangan kiri kak Virza.

"Biarin aja, Va. Dia itu harus dihukum," balas kak Virza keras. Sava mencebik, "Kasian tahu kak Satria. Udahan dong kak, liat tuh kak Satria udah pucet gitu."

Kak Virza masih bergeming. Saatnya mengeluarkan jurusan andalan; pura-pura menangis. Sava menatap kak Virza penuh permohonan, matanya berkaca-kaca saat ini. "Kakak," rengeknya.

Kak Virza masih juga tak mau melihatnya. Kemudian Sava menangis kencang, "Huee kak Virza gak sayang aku. Huee."

Dengan cepat kak Virza langsung menghentikan tangis Sava. Dia kelabakan, "Jangan nangis, Va."

"Kakak gak sayang aku, huee." Kali ini Sava malah menghentakkan kakinya seperti anak kecil.

Kak Virza mengusap lehernya. "Iya udah, iya. Satria turunin embernya, sana makan."

Sava dengan terburu langsung membantu Satria menurunkan ember berisi air tersebut. Satria menggumamkan terima kasih pada Sava yang dibalas dengan senyuman lebar oleh Sava. Setelah melihat keadaan melunak, baru lah Karin berani mendekati Satria dan memapah adiknya menuju meja makan.

Sava baru akan mengikuti Karin saat melihat kak Virza yang tengah berdecak kesal. Sava tersenyum kecil, "Makasih ya kakak emang the best deh."

Kak Virza sendiri hanya mengangguk kecil. Dia memang tak bisa mengatakan tidak pada adik bungsunya itu. Adiknya merupakan kelemahan terbesar dalam hidupnya. Dia benar-benar takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada adiknya. Apa pun akan dia lakukan untuk membuat adik bungsunya itu tersenyum. Bukan berarti dia tak menyayangi adiknya yang lain, tapi mungkin karena Sava adalah adik bungsu dan Sava lah yang paling dekat dengannya.

"Maaf ya kak," kata Satria tulus. Virza menghela, "Gak apa. Maafin kakak juga ya kalau terlalu keras."

Satria menggeleng, "Aku tahu itu demi kebaikan aku kok."

Virza tersenyum melihat Satria, adiknya kini sudah dewasa.

* * *

Yuk mari dibaca, jangan lupa di vote dan komen ;)
Salam,
-Ritonella

SpacesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang