DTSI| 17. Truth and Dare

7 3 1
                                    

⋅ ⋅ ── 🦋 ── ⋅ ⋅

"terus.. bisa pulang lagi gimana ceritanya?"

"Gue juga ga tau. Intinya gue udah di bandara terus bangun bangun langsung ada di Rumah sakit."

"Keren yah bisa teleportasi." Ujar Nea, mereka terkekeh.

Bisa ia lihat Jibran tengah menundukkan kepalanya, ada air mata yang berusaha untuk tidak jatuh. Tangannya gemetar.

"Ji...?"

Ia menoleh, langsung mengusap air matanya. Maniknya tidak bisa berbohong kalau dirinya takut.

"Ahk sorry, Gue emang selalu cengeng, cuman ya jarang gue tunjukin ke orang aja. Sorry Lo malah ngeliat gue yang kaya gini. " Tutur Jibran dengan Tawa getirnya. Melihatnya membuat Nea ingin meneteskan air mata juga. Ternyata ada kisah hidup yang sepahit ini. Nea kira hanya ada di dunia sinetron atau film film lainnya.

"Lo boleh kok nangis di depan gue." Jibran menatap Nea lekat, tidak ada kebohongan yang di pancarkan dari mata Nea. Ia berucap tulus.

"Lo boleh nangis, boleh marah, boleh kesel ke gue. Lo gausah mendem lagi kalau di depan gue. Karena lo udah gue anggap sebagai Ade gue." Nea tersenyum tulus pada Jibran, membuat hati Jibran menghangat.

"Eh bentar.." Jibran merasakan ada yang janggal. Dan Nea kebingungan dengan ekspresi Jibran yang aneh saat ini.

"Ade? Bukannya Lo sama gue itu tua an gue ya? Oh.. oke oke gue paham kok, iya deh siap kakak ipar."

Blushh

Wajahnya merah merona. Bahkan Nea dapat merasakan bahwa pipinya sangat panas. Aduh, mengapa dia tidak mengontrol bicaranya sih.

"Lo suka kakak gue kan?" Pertanyaan ini semakin membuat Nea kaku. Bahkan meneguk Salivanya saja rasanya sulit.

Jibran terus mengeluarkan ekspresi yang ingin sekali Nea getok kepalanya.

"G-ga! Jangan suudzon, ga baik!" Nea langsung meninggalkan Jibran begitu saja.

Ia menertawakan Nea yang berjalan dengan menghentakkan kakinya.

"CIE SALTINGGG"

****

Nea kembali berjalan menuju perpustakaan, ia terkejut karena Sean berada disana. Dirinya sedang duduk di kursi dan membaca bukunya.

Ia pun berjalan mendekatinya. Tanpa Nea panggil, Sean sudah mengangkat kepalanya menatap Nea.

"Ayo pulang." Ucap Sean masih dengan wajah datar. Nea mengangguk dan langsung membawa tas nya di perpustakaan.

Setelah pamit dengan yang lain, Nea pun kembali keluar. Sean yang melihat bahwa Nea sudah siap langsung berjalan duluan.

Walau ada perasaan tidak enak, Nea tetap mengikuti Sean dari belakang. Apakah Sean marah juga kepadanya? Tapi kalau dirinya marah, tidak mungkin Sean menunggu dirinya bukan?

Di sepanjang jalan, Sean tak kunjung mengajaknya bicara, Nea menghela nafas, ya sudahlah, dirinya sudah biasa membuka topik, jika Sean moodnya kembali seperti ini.

"Kalau Senin udah libur kan yah?" Tanyanya untuk mencairkan suasana.

"Hmm"

Jawabannya membuat Nea bingung harus bertanya apa lagi. Apa karena dia habis marah dengan Gaza? Atau kah mungkin mereka berantem?

"Kamu tadi kemana?"

"Hmm" bukannya menjawab namun malah seperti itu, Nea kesal tapi dia harus tetap sabar. Nea kembali memikirkan topik.

Dunia Tak Sejahat Itu | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang