Prolog

210 36 70
                                    

Surabaya, 2014

"Mama, Papa, Dara pulang!"

Tidak ada sahutan yang mampu gadis kecil itu dengar. Kedua lensa matanya berputar mengamati setiap objek di tiap sudut rumahnya, hingga tanpa sengaja netra yang indah milik gadis kecil pemilik rumah menangkap objek berupa dua orang dewasa yang tengah berada tak jauh dari tempatnya berada.

"Dara akan terus sama aku, dia anakku, sampai kapanpun! Ingat itu!"

"Aku juga punya hak atas Dara!"

Baru saja kaki kecilnya melangkah memasuki ruang pertama rumah, dirinya dibuat terkejut, bingung, dan terdiam mendapati dua orang yang sangat dikenalnya tengah beradu mulut dengan pecahan kaca yang berasal dari gelas berserakan di lantai.

Dara hanya mampu berdiri tanpa berkata apapun, untuk menarik napas saja rasanya begitu berat, hal yang seharusnya tidak dilihatnya, kini terpampang nyata di hadapannya. Mama Papa yang sangat Dara sayang, mengapa harus bertengkar?

"Mama? Papa?" ucapnya lemah dari ambang pintu.

Kedua orang dewasa yang sangat ia kenali menoleh secara bersamaan, menatap ke arah ambang pintu utama rumah, tempat putri mereka berada. Dara berdiri mematung dengan buliran bening yang tanpa ia sadari menetes perlahan dari kedua pelupuk matanya yang indah.

Seorang wanita dengan rambut sebahu berwarna coklat gelap berjalan cepat ke arah Dara, langkah kakinya beriringan diikuti seorang lelaki dari arah belakangnya. Dengan cepat tangan kanan milik wanita itu meraih tangan kecil putrinya, sedikit menarik ke arah yang ia kehendaki.

Tak kuasa hendak menolak, Dara mengikuti setiap setiap langkah yang ditunjukkan oleh wanita yang tak lain adalah Mamanya. Wanita itu terus berjalan dengan sebelah tangan yang melingkar di pergelangan tangan putrinya, hingga mereka berhenti di salah satu ruangan rumah dengan cat yang terkesan penuh warna.

"Dara, masuk ke kamar, jangan keluar sebelum Mama yang buka pintu! Mengerti?"

Dara mengangguk perlahan. Gadis kecil itu benar-benar tidak berdaya, ia mengikuti apapun yang dikatakan oleh orang yang menjadi pilar hidupnya.

Wanita itu pergi begitu saja, meninggalkan seorang lelaki yang masih berdiri di depan kamar milik putrinya. Tanpa peduli, wanita itu mengunci pintu kamar dari luar, dan membawa kunci yang ia gunakan bersamanya.

Di dalam kamar, Dara duduk di atas ranjang dengan muka yang ia tenggelamkan diantara kedua lengan dan kaki yang terlipat. Gadis kecil yang polos itu meluapkan segala emosinya melalui tangisan, ya ia menangis. Walau berusaha ia menyembunyikannya, isakan tangis tetap terdengar begitu memilukan.

Jendela kaca kamar diketok oleh seseorang beberapa kali dari arah luar. Sontak Dara mengangkat kepalanya, kemudian ia menoleh ke arah sumber suara. Telapak tangannya mengusap sisa-sisa air mata yang membekas di pipinya yang chubby.

"Halo putri kecil, ini Papa."

Seorang lelaki melambaikan tangannya dengan senyuman yang merekah dari arah luar jendela kaca kamar milik putrinya. Ia pun melambai-lambai, memberikan isyarat pada Dara untuk mendekat. Kedua kaki Dara berjalan sedikit berlari mendekat ke arah jendela kaca kamarnya yang sedikit terbuka.

"Papa, Dara mau keluar. Dara mau sama Papa," ucap gadis kecil dari dalam kamarnya.

Lelaki Melayu dengan postur tubuh tinggi itu menampilkan senyum yang begitu tulus dari bibirnya. Jemari tangannya bergerak melukiskan senyum, mengisyaratkan putri kecilnya yang menatap dengan air mata yang terus berlinang untuk menampilkan senyum. 

"Lihat apa yang Papa bawa," ujar lelaki itu.

Sebelah tangannya yang ia sembunyikan di belakang punggungnya, perlahan ia keluarkan. Dengan binar mata yang penuh harapan, Dara menunggu.

"Tadaaa."

Jajaran pensil warna berada di tangan kiri milik lelaki itu. Ia menempelkan jari telunjuk kanannya di bibirnya, lalu mendekatkan dirinya pada jendela kaca yang hanya terbuka sedikit. Dengan hati-hati, ia menyelipkan sekotak pensil warna itu melalui celah jendela kaca yang terbuka.

"Ini hadiah kecil untuk putri kecil Papa, Dara. Papa harap, hidup putri Papa akan dipenuhi warna seperti pensil-pensil ini, berwarna-warni, indah bukan? Terus tersenyum ya, Sayang."

Lelaki itu melambaikan tangannya, lalu melangkahkan kakinya, meninggalkan Dara yang berada di ambang jendela. Ia sesekali menoleh untuk memastikan kondisi putri kecil kesayangannya, tentu putri kecilnya menangis sembari ikut melambaikan tangannya.

"Bagaimana aku bisa bahagia, jika sumber kebahagiaanku pergi meninggalkan begitu saja?" _Aldara


Menuju Rembulan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang